mochaayo


Nathan yang baru saja tiba memilih untuk menunggu Kale di luar mobil, ia berdiri tepat di depan pagar rumah perempuan itu. Selang beberapa menit pagar rumah itu terbuka, menampakkan sosok Kale membuat Nathan terdiam seketika.

Tubuhnya yang ramping berbalut dress sederhana dengan potongan V neck sedikit rendah, rambutnya yang dibiarkan tergerai rapi, dan aroma wangi yang tiba-tiba semerbak. Gerakannya seakan menjadi slow-motion di mata Nathan yang masih membeku menatap Kale tanpa berkedip dari samping.

Tanpa sadar Nathan sampai ternganga, bahkan ia kontan menelan air liurnya. Entah kenapa gaya seperti ini membuat Kale terlihat sangat cantik dan anggun. Why she is look so gorgeous tonight? Is that you, Kale?

“Kenapa? Aneh ya?” tanya Kale ketika menyadari Nathan yang terdiam menatapnya.

“E-enggak, cantik kok.” Nathan sampai tergagap menanggapinya.

Di perjalanan menuju tempat acara makan malam keluarga diadakan, Kale terlihat sangat gugup. Tangannya terasa dingin, jantungnya berdegup kencang, dan ia tidak bisa berhenti meremas jemarinya terus menerus.

“Gausah gugup gitu, Kal.”

“Kayaknya wajar deh kalo gue gugup, soalnya kan gue ga pernah ikut acara beginian.”

“Tenang aja kali. Kan ada gue, Mamah juga gak galak kok.” Nathan tersenyum melirik Kale.

Ya hal itu benar, setidaknya ada Nathan yang akan menemani dirinya malam ini, pikir Kale mulai menenangkan dirinya sendiri.

Dari arah dalam ruangan, Mamah Nathan yang mengenakan gaun berwarna cokelat chestnut menyadari kehadiran putranya. Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu berjalan pelan ke arah mereka berdua.

“Nathan... sama siapa? Pacar kamu yang namanya Kale-kale itu ya?” Mamahnya Nathan sudah sangat penasaran dengan perempuan yang berada tepat di samping Nathan.

Mendengar namanya disebut Keduanya segera menghentikan langkah dan menoleh ke asal suara tersebut.

“Iya Mah, kenalin namanya Kaleya. Kal, ini Mamah gue,” Nathan berusaha mengenalkan keduanya dengan singkat.

Dengan senyumnya yang perlahan mengembang Kale pun menyapa, “Malam Tante.”

“Eh? Kok tante? Panggil mamah aja, Kaleya.” Mamahnya Nathan tersenyum sembari menatap Kale sedikit lebih lama. Dan yang ditatap hanya bisa mempertahankan senyuman selagi ditatap hangat oleh wanita ini.

“Ah iya, Mah.”

“Nathan sudah banyak cerita tentang kamu, katanya kamu orangnya tegas terus sering marahin dia,” ucap Mamah dengan terkekeh pelan.

“Emang Nathan anaknya susah diajak serius, suka bercanda, dan nyebelin juga. Kok kamu mau sih sama dia?” lanjutnya.

“Mamah ih...” potong Nathan memprotes Mamahnya.

“Kenapa sih? Kan Mamah pengen tau.”

“Itu biar jadi rahasianya Kale, Mah.” Nathan dengan perlahan meraih tangan Kale. “Udah ah, kan udah Nathan kenalin. Nathan pulang ya, Mah.”

“Ya sana pulang aja sendiri, Kale biar di sini sama Mamah.” balas Mamah yang tak mau kalah dengan meraih pundak Kale.

“Mah...”

“Katanya tadi mau pulang, ya pulang aja sana.”

Melihat pertengkaran kecil seorang ibu dan anaknya yang lucu ini membuat Kale hanya bisa tertawa pelan. Keluarga ini begitu hangat, tak semenakutkan yang ia pikirkan.

Kemudian Mamah membawa keduanya untuk duduk di meja, menikmati beberapa kudapan kecil yang disediakan oleh para pelayan sembari menunggu anggota keluarga lainnya datang.

“Nathan, abang kamu katanya mau dateng, tapi sampai jam segini kok belum kelihatan ya?”

“Sabar, Mah. Mungkin bentar lagi, tadi katanya udah di jalan kok.” Nathan berusaha menenangkan Mamahnya.

Tak berselang lama, seorang laki-laki muda yang mengenakan jas senada dengan jas milik Nathan tiba di ruangan itu.

“Nah ini orangnya dateng, Mah.”

“Kenapa lama banget sih, Bang?”

“Maaf, Mah. Tadi jalanannya macet.”

“Oh iya Kaleya, kenalin ini Abangnya Nathan, Samy.”

Kale yang sedari tadi menunduk dengan cepat menoleh ke arah seseorang yang baru tiba itu. Dan detik selanjutnya matanya dipertemukan dengan tatapan tidak asing. Tapapan seseorang yang seharusnya tidak ia jumpai di tempat ini.

Sejujurnya Kale paham betul bahwa tidak ada yang menjamin ia tak akan bertemu dengan orang itu selain di rumah sakit. Tapi, ia juga tak mengira akan bertemu orang itu di acara keluarga Nathan malam ini.

Dan orang yang dipanggil keluarganya dengan nama Samy ini adalah Samuel Oceano. Atau yang sering Kale panggil dengan sebutan Dokter Samuel.

Katanya bumi memiliki miliaran penduduk, tapi nyatanya dunia ini benar-benar sesempit kardus.


Langit membiru cerah membentang luas ditemani matahari yang sinarnya belum terasa panas. Semburat jingganya menyinari wajah dua insan semesta yang tengah duduk bersebelahan di sebuah kursi kayu di pinggir taman.

Tak banyak yang dilakukan Nathan dan Kale, hanya menghabiskan satu bungkus cotton candy di tangan masing-masing sambil mengawasi Biyu yang sedang bermain tidak jauh dari mereka.

“Dapet ide darimana sih lo bisa beli cotton candy segal—”

“Ada yang nempel di pipi tuh,” potong Nathan seketika memajukan tanganya kanannya, mengambil remahan cotton candy yang menempel di pipi Kale.

“Bilang dong, udah kayak anak kecil aja gue dilapin.”

“Kan emang lo anak kecil—”

“Gausah mulai,” sambar Kale yang langsung memotong kalimat Nathan.

Nathan tertawa pelan memperlihatkan sepasang lesung di kanan dan kiri pipinya, tapi Kale yang ditertawai hanya memilih diam, melanjutkan makannya dengan perlahan. Namun, tatapan matanya tidak bisa beralih dari plester luka lusuh di punggung tangan Nathan.

“Gue suka aja sama cotton candy, makanya gue beli.”

“Emang cotton candy enak?”

“Enggak,” Nathan menggeleng. “Gue gatau letak enaknya dimana, tapi anehnya gue sering berharap aja rasa manisnya bisa buat hidup gue ikutan manis.”

“Aneh lo, yang ada malah diabetes tolol.”

“Kan gue cuma berharap, emang salah?”

Kini giliran Kale yang menggeleng. Memang benar tidak ada salahnya berharap, walau pada hal mustahil sekali pun.

“Lo pasti juga pernah berharap kan?” tanya Nathan tiba-tiba.

“Pernah lah, sering malah,” Kale tersenyum kecut. “Sampe capek dipatahin terus sama kenyataan.”

“Jadi sekarang gue milih jalani hidup tanpa berharap dan mensyukuri apa yang udah terjadi,” lanjutnya.

“Berarti lo juga bersyukur ketemu gue dong?”

“Iya.”

“Terus kenapa confess gue kemarin lo tolak gitu aja?”

Kale tak langsung menjawab, ia tertegun sejenak. Senyumnya yang kecut tadi memudar perlahan.

“Biyu, hati-hati nanti jatuh!” Kale mengalihkan pembicaraan.

Seperti biasanya, perempuan ini selalu lari tiap kali Nathan ingin tau alasan atas penolakannya tempo hari. Nathan pun memilih untuk beranjak dari duduknya, dan berniat untuk pergi lagi.

“Gua ke sana bentar ya,” bisik Nathan tepat di telinga Kale.

“Mau ngapain?”

“Mulut gue pait, mau nyebat.”

Dengan segera Kale meraih pergelangan tangan Nathan sebelum laki-laki itu benar-benar pergi, hal itu sukses membuat Nathan menoleh cepat ke arahnya.

“Kenapa?”

“Di sini aja, jangan kemana-mana,” pinta Kale dengan dingin dan tegas.

“Gila lo? Masak gue ngerokok di depan Biyu?”

“Yaudah makan cotton candy aja gausah ngerokok.”

Perintah Kale bagaikan sihir, Nathan tanpa ragu langsung menurutinya. Ia urung pergi dan memilih duduk kembali di samping Kale yang sedang mencari sesuatu di dalam sling bag nya.

“Udah, mau sampai kapan tangan gue lo pegangin?”

“Bentar.”

“Kalo mau gue gandeng bilang aja kali.” Nathan perlahan melepaskan genggaman tangan Kale, menggantinya dengan ia yang menggenggam tangan Kale.

Setelah selesai berkutat dengan benda-benda di dalam sling bag nya, tanpa kata Kale langsung melepas genggaman Nathan, membuat laki-laki itu kebingungan.

Tangan Kale juga beralih meraih pelan tangan kiri Nathan, membuat dirinya semakin bingung bukan main.

“Gue ga mau digandeng sama tangan yang plester lukanya kotor,” kata Kale.

Nathan memang tidak mengganti plester lukanya sejak setelah diinfus beberapa hari yang lalu, membiarkannya tetap menempel walau sudah begitu lusuh. Dan kini akhirnya Kale membuka plester luka itu, menampakkan luka yang masih memerah bekas infus.

“Plester luka tu harusnya diganti tiap hari biar ga infeksi,” ucap Kale yang masih sibuk dengan plester luka di punggung tangan Nathan.

“Biar bisa gandeng tangan lo juga kan?”

Kale memang tidak seperti perempuan lainnya yang akan langsung merona merah pipinya saat dilontari pertanyaan tengil Nathan. Dirinya malah menekan luka itu pelan membuat laki-laki di sampingnya meringis kesakitan.

“A-aduh, sakit tau Kal.”

Setelah selesai mengganti plester luka Nathan dengan yang baru bermotif dinosaurus. “Kenapa sih lo ga ganti plesternya sampe buluk gitu? ga takut infeksi apa?”

“Lo juga kenapa perhatian banget sama gue? Katanya gue ga boleh nyaman sama lo?”

”...”

Pertanyaan Nathan kali ini membuat Kale terdiam. Belakangan ini Kale juga tidak mengerti dengan perilakunya sendiri pada Nathan. Mungkin kah benar kata Aya, rasa nyaman mulai tumbuh di dalam dirinya.

Sejujurnya Kale juga tidak menemukan alasan untuk tidak merasa nyaman dengan laki-laki yang mau menemaninya makan dipinggir jalan, rela kepanasan karena menurutinya naik motor, bahkan mempedulikan bunda dan adiknya juga.

“Udah gausah dipikirin, gue cuma bercanda.” Nathan memperhatikan plester luka yang kini telah menempel di punggung tangannya.

“Plester luka di apart gue habis, jadinya ini ga gue ganti deh,” lanjutnya.

“Yaudah nanti gue beliin.”

“Yang motifnya dinosaurus kayak gini ya.”

“Iyaa.”

Sudut bibir Kale terangkat melihat kelakuan laki-laki di sampinya. Selain aneh orang ini juga kekanakan, pikirnya.

Memang dunia selalu punya caranya sendiri untuk membuat manusianya menyerah pada rasa.

Berhentilah keras kepala dengan menahannya, Kale.


Selain rasa panik sudah menguasainya, juga ada rasa bersalah yang mengintai Kale saat ini. Jika saja kemarin malam ia tidak menarik garis batas, Nathan tak akan seperti ini sekarang.

“Than, Nathan!”

Saat Kale telah berhasil membuka pintu apartemen Nathan yang dirinya temukan hanyalah gelap. Kale menjelajahi semua sudut, tapi tetap saja tidak ada tanda-tanda keberadaan si penghuni apartemen.

Hingga hanya ada satu pintu yang sama sekali belum dibukanya, Kale segera membuka pintu itu dan menemukan tubuh Nathan yang terlelap pulas di atas ranjang.

“Shit, gue panik nyariin, malah lo nya enak-enakan mimpi.”

Langkah cepat membawa Kale ke sisi ranjang. Ia menarik paksa selimut tebal yang dikenakan Nathan.

“Than?” Tegur Kale setelah tak mendapatkan respon.

Dengan cepat tangan Kale menyentuh kening Nathan, dan langsung menyadari bahwa suhu badan laki-laki itu begitu panas.

“Nathan? lo kenapa?”

“Kale?” gumam Nathan pelan. Seperti sudah begitu hapal dengan suara perempuan satu ini.

Nathan berusaha membuka matanya yang terasa sangat berat, menemukan tatapan cemas Kale yang menatapnya.

“Nathan, jawab gue.” Tegur Kale lagi.

“Ini lo beneran, Kal?”

“Iya, ini beneran gue.”

“Gue kira tadi cuma mimpi.”

Seutas senyum perlahan mengembang di bibir tipis Nathan. Tapi kini ia tidak lagi menahan matanya yang berat, ia menutup matanya lagi.

“Lo kok bisa ada di sini?” Lanjutnya dengan nada yang begitu lemah.

“Itu ga penting, Than. Yang penting kita ke rumah sakit sekarang.”

“Ngapain?”

“Ngapain? Lo tanya ngapain? Badan lo panas banget, Nathan.”

Suara Kale terdengar sangat panik sekarang, bahkan sudah berkali-kali ia menyentuh kening Nathan yang tetap terasa begitu panas.

Nathan meraih tangan Kale yang sedari tadi menyetuh keningnya, menarik perempuan itu pelan menjadikannya duduk di tepian ranjang, dan Kale menatapnya dengan tatapan bingung bercampur cemas.

“Lo beneran Kale bukan sih? Tangan lo dingin banget. Apa lo setan?”

“Jangan bercanda dulu, Than. Kita ke rumah sakit sekarang,” ajak Kale dengan suara pelan.

“Apa malah lo princess elsa? Gue gabakal beku kan kalo megang lo, Kal?”

“Than, dengerin gue.”

“Tangan lo kecil, Kal. Cocok banget kayaknya gue gandeng.”

“Nathan, gue mohon dengerin gue.” Kale meninggikan nadanya dengan suaranya yang bergetar.

Detik setelahnya Nathan tersadar suara Kale kini sudah berubah menjadi begitu cemas, bahkan ia pun terkejut mendengar perempuan itu terisak pelan.

Nathan dengan segera mendudukkan dirinya. Dan ketika ia membuka mata beratnya kembali, ia mendapati pipi Kale yang sudah dibasahi oleh air matanya sendiri.

“Hey... jangan nangis dong.” Tangan Nathan perlahan mengusap air mata di pipi Kale, membuat perempuan yang kini duduk dihadapannya kembali menatap matanya. “Gue gapapa.”

Kale dengan cepat menggeleng, “Lo sakit, Nathan. Kita harus cepetan ke rumah sakit.”

“Gue cuma demam, Kal. Tadi gue juga udah panggil dokter, mungkin bentar lagi bakal dateng,” jelas Nathan dengan suara paraunya.

Kale membuang nafasnya berat, ia merasa sedikit lega tetapi juga kesal. Perlahan tangannya mulai bergerak memukul-mukul dada bidang Nathan.

“Kenapa sih lo bebal banget, Than? Kan tadi malem gue udah bilang jangan pulang hujan-hujanan, sekarang jadi gini kan.”

“Sorry...”

Nathan menggenggam tangan Kale. Bukannya merintih kesakitan, ia malah tersenyum lebar dengan memperlihatkan sepasang lesung di pipinya.

Karena baginya mengetahui perempuan dingin yang menolak perasaannya kemarin malam bisa sekhawatir ini padanya adalah hal yang begitu luar biasa.

Gue ga yakin kalo cuma gue yang nyaman, ucap Nathan dalam benaknya.


“Pengang tangan gue aja sini biar ga ilang.”

Nathan menawarkan tangan kanannya ke hadapan Kale. Ia tau perempuan yang bersamanya ini baru pertama kalinya datang ke festival, jadi sesuai dengan janjinya Nathan akan berusaha memberikan Kale kenangan indah bersamanya.

Yang ditawari hanya membalasnya dengan tatapan dingin. “Gausah, makasih.”

Kale lebih memilih memegang erat ujung  jacket hitam yang dikenakan Nathan daripada tangannya.

“Lucu,” ucap Nathan pelan dengan sudut bibir terangkat melihat kelakuan Kale sekarang ini.

“Apa? Lo bilang apa? Gue lucu?”

“Enggak,” Jawab Nathan dingin, berlagak tidak melakukannya. “Gue bilang lo orang aneh, dikasih tangan malah milih jaket.”

“Iyalah, soalnya tangan lo bau,” jawab Kale dengan diiringi tawa.

Sejujurnya tanpa diberi tangan ataupun ujung jaket, Kale telah merasa aman dan nyaman hanya dengan berada di dekat Nathan. Walau pun sedikit merasa asing dengan keramaian, ia tetap mampu menikmati pentas musik yang ada di atas panggung Teufest dengan baik.

“Nathan?”

Nathan segera berbalik ketika mendengar namanya disebut, dirinya tertegun sejenak melihat orang yang memanggilnya. Sosok laki-laki paruh baya yang dikawal dua pria gagah tengah berdiri di belakangnya, Papa nya.

“Sama siapa? Pacar kamu?” Papanya Nathan sudah sangat penasaran dengan perempuan yang berada tepat di samping anaknya.

“Ah? iya Pah, namanya Kale. Kal, ini Papah gue,” balas Nathan mengenalkan keduanya secara singkat.

“Oh ternyata Kaleya? Apa kabar? Udah lama ya tidak berjumpa.”

“Malam Pak,” sapa Kale dengan senyum yang perlahan mengembang.

“Hey, Kamu kan pacarnya Nathan. Kalo pas ketemu Saya bukan di acara beasiswa, panggil Papah aja, Kaleya.”

“Iya, Pah.”

“Nathan, ajak Kaleya makan malam bareng keluarga kapan-kapan ya. Papah mau pulang, have fun di festival ini ya.” Pak Joko Sudirga langsung melenggang pergi sebelum keduanya membalas.

Nathan terheran dengan dua orang yang bersamanya tadi, ternyata keduanya sudah saling mengenal sebelum ia kenalkan.

“Kok Papah gue bisa kenal lo?”

“Ya bisa lah, kan gue salah satu anak beasiswa, jadinya gue dulu sering ketemu Papah lo.”

Nathan mengangguk paham. Dan selanjutnya tak ada obrolan di antara keduanya, mereka hanya asik menonton pertunjukan di atas panggung.

“Pulang yuk, Than,” bisik Kale tepat di telinga Nathan.

“Sekarang?”

Kale hanya mengangguk. Ia juga mulai merapikan jaketnya, mengajak Nathan untuk segera meninggalkan kerumunan.

Namun belum sempat melangkah, pergelangan tangan Kale diraih pelan oleh Nathan, membuat dirinya dengan reflek menoleh, dan detik selanjutnya mata Kale bertemu dengan tatapan Nathan.

“Kenapa?”

“Nanggung udah sampe sini masa ga nonton Ardhito.”

“Kalo nungguin Ardhito bakal pulang tengah malem jadiny—”

Kale menghentikan ucapannya karena orang-orang di sana mulai berteriakan. Meneriakkan nama guest star yang kini mulai naik ke atas panggung, Ardhito Pramono.

Tak lama setelahnya lantunan musik membawa sang penyanyi menyanyikan lagunya yang berjudul Teman Perjalanan.

“Yaudah satu lagu aja ya.”

“Kal?” deham Nathan pelan.

“Hm?”

Nathan menundukkan kepalanya perlahan, berusaha mendapati tatapan perempuan yang saat ini berdiri di depannya.

Ku pejamkan mata Terlihat kamu disana Seorang pembawa cerita Aku bukan pejabat Atau orang yang hebat Ku hanya ingin dicinta

Di bawah langit malam ditemani suara Ardhito yang membawakan sebuah lagu romansa, Nathan memantapkan hatinya mengatakan apa yang ia pendam.

“Anu... gue mau confess.” Nathan menggaruk tengkuknya dengan kikuk. “Sebenernya... gue nyaman setiap bareng lo, Kal.”

Sejujurnya Nathan tidak berharap banyak, terserah kalimatnya barusan akan ditanggapi atau dibiarkan melayang-layang di udara tanpa arti, kalau pun bisa dilupakan saja.

Kale membalas menatap lurus mata laki-laki di depannya, tanpa diduga malah perlahan tawanya keluar. “Lo yang bilang jangan baper, tapi kenapa lo sendiri yang nyaman sama gue?”

*“Tapi jangan, Than.” Kale melepas perlahan genggaman tangan Nathan. “Jangan berharap banyak sama gue.”

Nathan tertegun sejenak, badannya menegang seketika, confess-nya ditolak mentah-mentah tepat di bait terakhir lagu yang dibawakan Ardhito.

Karena dalam kisah asmara Tak semua harus bahagia

Sempat ada hening beberapa detik di antara keduanya, hingga jutaan air hujan mulai turun ke bumi secara perlahan.

“Than, hujan!” Kale memutar tubuhnya dan mulai melangkah meninggalkan tengah keramaian.

Namun, ia dibuat kembali lagi karena sadar Nathan masih mematung tak bergerak sedari tadi.

“Heh, ayo!”

Kini giliran Kale menggengam pergelangan Nathan, menariknya untuk segera menepi mencari tempat untuk berteduh.

Setidaknya walau pun confess-nya malam ini ditolak, tapi Nathan telah memenuhi janjinya, memberikan sebuah kenangan tentang festival pada Kale.


“Belajar yang pinter, jangan nakal, nurut sama gurunya, oke?” ucap Nathan dengan tangan mengusap pelan puncak kepala Biyu.

Yang diajak bicara hanya mengangguk paham dan melangkah pergi meninggalkan dua orang yang mengantarkannya berangkat sekolah pagi ini.

“Udah yuk pulang.”

Kale mengulurkan tangan kanannya ke hadapan Nathan yang masih berjongkok menatap punggung Biyu yang perlahan menjauh. Mencoba menawarkan bantuan untuk tumpuan laki-laki itu berdiri.

Namun, yang ditawari malah membalasnya dengan candaan. “Modus kan lo? Mau pegang-pegang gue.”

“Dih ngapain.” Kale menatap Nathan dingin.

Mungkin mengerjai Kale sudah menjadi kebiasaan Nathan. Menurutnya muka kesal Kale begitu candu, membuatnya ingin sering melihatnya.

“Ini beneran langsung pulang, Kal?”

“Pulang lah, emang lo mau tidur di sini?” ucap Kale dengan mulai melangkah meninggalkan Nathan.

“Ya enggak.” Nathan yang baru saja berdiri malah dibuat kaget oleh Kale yang tiba-tiba menyebrang jalan. “Heh! Mau kemana? Pulang kan ga ke arah sana.”

“Mau beli es dawet.”

Tanpa pikir panjang, Nathan dengan segera mengikuti Kale. Layaknya itik yang tak mau kehilangan induknya.

“Lo pernah makan es dawet ga?”

“Es dawet?”

“Ga pernah ya?” Sejujurnya Kale tak heran jika dugaannya benar. “Mau coba ga?”

“Boleh.”

Kemudian keduanya sama-sama menikmati es dawet yang tadi telah dipesan oleh Kale. Dan untuk pertama kalinya Nathan mencoba dawet hijau yang dipadukan dengan santan dan gula merah cair.

Walaupun tempatnya hanya terdapat kursi tanpa meja, tapi Nathan bersyukur setidaknya tempat kali ini ada kemajuan dari sebelumnya.

“Mantan lo yang kemarin namanya siapa, than?” tanya Kale tiba-tiba.

Nathan tak langsung menjawab, ia tertegun sejenak. “Ella, Stella Anastasya”

“Anak kampus kita juga?”

“Iya, satu angkatan sama gue, anak FEB.”

“Terus kenapa lo gamau balikan aja sama dia? Padahal kan Ella cantik, pinter, anaknya orang berduit juga kayaknya.”

“Gue penganut paham hidup selalu maju dan gak kembali ke masa lalu,” ucap Nathan santai dengan memakan dawet hijau dari mangkuknya.

“Kalo kata orang jawa tuh ya balikan sama mantan kayak makan sayur kemarin yang dipanasin, hambar,” lanjutnya.

“Emang kenapa lo bisa putus sama dia?”

Sudut bibir Nathan terangkat, seakan menertawakan dirinya sendiri. Sejujurnya ia ingin memilih bungkam, tapi mulutnya terus bergerak dan mengucapkan, “dia selingkuh sama temen gue sendiri.”

Kale mengerutkan dahinya heran, laki-laki di sampingnya ini memang selalu bertingkah tengil dan menyebalkan, tapi kali ini rasanya berbeda.

“Sekitar enam bulan lalu, pas ulang tahun Ella. Gue yang KKN di Bandung bela-belain balik Jakarta demi nemuin dia, tapi yang gue temuin malah dia lagi pelukan sama temen gue di depan apartnya.”

“I feel you, pasti sakit banget rasanya.”

“Udah ga sakit lagi, tapi sakit banget, tega-teganya dua orang yang gue percaya malah nusuk gue dari belakang.”

“Ga cuma hubungan gue sama dia yang hancur, pertemanan gue pun juga hancur,” lanjut Nathan dengan nada yang melemah di akhir.

Kale menatapnya dengan hangat, bahkan senyum tipis juga tersemat di bibirnya. Ia baru menyadari laki-laki yang sering mengganggunya ini juga bisa selembut dan serapuh ini.

“Gapapa, masih bagus lo tau keburukan Ella sebelum lanjut ke jenjang yang lebih serius.” Kale juga menepuk-nepuk punggung Nathan.

“Malah harusnya lo terimakasih sama temen lo yang udah buka keburukannya Ella.”

Tanpa sadar melalui kalimat sederhana Kale mampu sedikit mengubah pandangan Nathan. Selama ini ia hanya menghakimi tanpa mau mengerti sisi baik yang datang bersama tragedi.

“Udah lah masih pagi, jangan sedih-sedih muka lo ga cocok anjir.”

Melainkan marah ataupun kesal karena dikatai, Nathan malah tersenyum lebar hingga menampakkan sepasang lesung pipinya.

Ya ini lah Kale, dengan segala hal yang membuatnya istimewa, pikir Nathan.


Kale bukan seperti perempuan lain yang membutuhkan waktu lama untuk mempercantik diri. Selang beberapa menit setelah obrolan di pesan singkat usai, Kale dengan skinny jeans, sweater abu-abu, dan rambut panjang tergerai muncul di ambang pintu pagar rumahnya.

Kale lantas menghampiri laki-laki bercelana pendek yang tengah menduduki motor kawasaki ala dilan. Ya, laki-laki itu Nathan dengan netra terpatri pada ponsel yang berada di genggamannya.

“Ayo berangkat,” seru Kale dengan menepuk pundak Nathan pelan.

“Lah? kapan lo disitu?”

“Dari jaman Jepang.”

“Lah? Tua dong.”

“Mampus, lo jalan sama nenek-nenek,” ucap ketus Kale dengan bergegas naik ke atas motor yang sudah siap melaju. Dan perjalanannya bersama Nathan pun dimulai.

Udara malam terasa lumayan sejuk. Semua suara terbungkam oleh knalpot bising motor Nathan. Gemerlap lampu kota menemani motor kawasaki itu melaju melewati gang-gang sempit sesuai perintah Kale.

Tak lama kemudian keduanya tiba di sebuah tenda sederhana penjual nasi goreng. Tempatnya tepat di belakang Mall yang paling mewah di kota ini.

“Kal, tempatnya emang kayak gini?” tanya Nathan setengah berbisik.

“Ya emang gini.”

Nathan mulai bingung ketika melihat tempatnya lebih sederhana dari yang ia bayangkan. Pasalnya tempat itu hanya beratap tenda beralaskan tikar, tak ada meja maupun kursi.

“Ini ga ada meja kursinya, Kal?”

“Ga ada, ini lesehan.”

“Ini kalo hujan gimana?”

“Langitnya cerah, kayaknya ga bakal hujan deh.”

“Kal...”

“Hihh diem lo! Nanya mulu.” Kale memberikan sepiring nasi goreng yang telah diantarkan oleh penjual. “Sekarang makan, gausah banyak omong.”

Tawa pelan Nathan keluar begitu saja melihat Kale kesal. “Hahaha, galak banget, Kal.”

Setelah makan sampai kenyang, Kale memuaskan dirinya dengan memakan sisa es batu dari es jeruknya. Tanpa sengaja matanya melirik Nathan yang ternyata memperhatikan sosoknya dari samping.

“Ga usah dilihatin, kalo mau es batu bilang, nih.” Kale menyerahkan sebuah es batu di atas sendok kepada Nathan.

“Enggak es batu yang gue lihat.” Nathan mengembalikan es batu itu ke gelas Kale. “Tapi lo—”

“Gausah mulai,” sambar Kale yang langsung memotong kalimat Nathan.

Nathan tertawa pelan memperlihatkan lesung di kanan dan kiri pipinya, tapi Kale yang ditertawai hanya memilih diam dengan memasang muka malas.

“Maksudnya gue biasanya makan di depan sono.” Nathan dengan menunjuk mall di depan mereka menggunakan dagu. “Bisa-bisanya lo malah ngajak gue makan di sini.”

“Tapi nasi gorengnya enak kan?”

Nathan mengangguk, “ya enak.”

“Yaudah gausah protes lagi,” ucap Kale yang sibuk dengan isi sling bag -nya. “Bentar, gue bayar dulu.”

Kale beranjak dari duduknya dan pergi menghampiri penjual nasi goreng untuk membayar pesanan mereka. Tak lama kemudian Nathan menyusulnya.

“Gue keluar bentar ya,” bisik Nathan tepat di telinga Kale.

“Kemana?”

“Nyebat.”

Setelah selesai berurusan dengan bayar-membayar, Kale mengikuti Nathan dari belakang layaknya anak itik yang mengikuti induknya.

Keduanya berhenti saat langkah kaki telah membawa mereka tiba di jembatan yang membentang di atas rel kereta api. Dengan Nathan mulai membakar sebatang rokok yang telah ia selipkan di mulutnya.

“Kasih gue satu batang dong,” pinta Kale dengan menadahkan tangan di hadapan Nathan.

“Hah?”

“Gue minta rokoknya satu.”

Nathan sempat bingung, tapi akhirnya memberikan satu batang rokok ke tangan Kale. Terserah mau diapain, pikirnya.

Ternyata Kale mengikuti Nathan, ia membakar satu batang rokok yang terselip di antara dua jarinya. Kale juga mulai menghisap dan menghembuskan asap dari sebatang rokok itu.

Nathan terus memperhatikan sosok Kale dari samping. Dirinya sempat dibuat tertegun saat mengetahui perempuan yang bersamanya ini seorang perokok.

“Bunda tau kalo lo ngerokok?”

“Enggak,” Kale malah menempelkan jari telunjuk ke bibirnya. “Jangan kasih tau.”

“Bakal gue aduin.”

“Kalo ngadu bakal gue bakar lo kayak nih rokok.”

“Serem anjir.” Nathan bergidik ngeri.

Ada sunyi sejenak di sana. Sejujurnya Kale tidak pernah merokok di depan orang lain seperti sekarang ini. Biasanya ia selalu bersembunyi dan menikmati batang penuh nikotin itu sendirian. Tapi berbeda dengan malam ini, ia merokok bersama seseorang yang belum lama ini dikenalnya, Nathan.

“Nama lo Sky, pasti emak lo suka langit?” tanya Kale tiba-tiba, karena melihat langit berbintang di atasnya.

“Enggak,” Nathan menggeleng pelan. “Mama gue sukanya laut.”

“Kok?”

“Tapi kalo lo lihat laut, pasti lo bakal lihat langit juga di atasnya kan?”

Kale menganggukan pelan kepalanya sebagai tanda paham atas penjelasan Nathan.

“Kalo lo? Kenapa nama lo bentala? Bunda suka bumi?”

“Enggak suka juga sih, tapi itu harapannya bunda.”

“Harapan? Apa yang bunda harapin sama bumi?” Nathan mengerutkan dahinya heran.

“Biar gue jadi orang yang selalu membumi lah, ga songong kayak lo.”

“Dih, gue—”

Kalimat Nathan terputus saat menyadari ada kereta lewat dengan suara jauh lebih keras darinya. Ia pun membuang nafasnya berat saat netranya menangkap seberapa panjang kereta yang melintas di bawah sana.

Kini giliran tawa Kale yang perlahan keluar, baginya melihat reaksi Nathan pada kereta itu sangatlah lucu. Sedangkan yang di tertawai hanya diam memasang raut datar.

Mungkin memang dunia sengaja mempertemukan keduanya untuk saling berbagi tawa.


Dengan langkah lebar dan sedikit berlari Asha menuju kamar tempat Zoey dirawat. Tampak jelas kekhawatiran tergambar di raut wajahnya, bahkan orang-orang yang memandangnya pun tahu kalau laki-laki ini sedang dirundung kegelisahan yang luar biasa.

Asha berhenti tepat setelah membuka pintu Ruang Cempaka Nomor 87. Hatinya terasa begitu sesak saat memperhatikan perempuan yang memintanya menjauh kini sedang terbaring lemas di atas ranjang rumah sakit.

Kehadirannya di ruangan tersebut tentu mengundang kaget seluruh orang di dalamnya. Terutama Zoey yang memasang wajah seolah bertanya-tanya bagaimana bisa Asha datang kesini.

“Asha?” Seru Zoey saat melihat Asha mulai berjalan pelan ke arahnya.

“Hai, Zoey,” jawab Asha memaksakan untuk tetap tersenyum.

Melihat keduanya membuat keluarga dan teman-teman Zoey yang ada di sana mengerti dengan keadaan, mereka memilih menarik diri keluar demi memberikan ruang untuk keduanya dapat berbicara.

Asha mendudukan dirinya di kursi yang berada tepat di samping ranjang Zoey. Matanya menatap lekat manik perempuan di hadapannya ini, mencari-cari tatapan dingin yang sering menatapnya, tapi tatapan itu kini telah menjadi tatapan yang begitu sendu.

Pakaian lengan pendek khas rumah sakit, infus yang menancap di punggung tangan kiri, dan kabel-kabel yang menempel pada badan Zoey membuat hati Asha terasa sesak kembali.

“Kurus banget sih lo, Zoey. Apa selama gue pulang ke rumah lo ga makan? Segalau itu ya lo jauh dari gue? Padahal kan gue jauh di mata tapi dekat di hati lo.” Asha mulai membuka kata.

“Dih pede banget, yang jauh di mata tapi dekat di hati itu lambung bukan lo,” balas Zoey dengan nada yang biasanya ia gunakan.

Asha menyimpulkan senyum. Rasanya begitu lega karena bisa mendengar suara dengan nada yang selama ini ia rindukan, walau dengan keadaan yang tidak pernah ia bayangkan.

“Gue bodoh ya, Zoey.”

“Hah?”

“Gue dengan bodohnya ngira Andrea itu gebetan lo, padahal dia dokter lo. Waktu lo bilang di HK, malah gue kira lo lagi di Hongkong. Gue dengan sombong bilang gampang dapetin semua tentang lo, tapi ternyata keadaan lo aja gue gatau.”

“Gue juga terlalu bodoh sampai ga paham kalo lo bukan lagi menjauh dari gue, tapi lo lagi melindungi gue dan perasaan gue. Lo ga mau gue sedih kan, Zoey? Lo ga mau gue tau keadaan lo, jadi lo sembunyiin ini semua kan?” lanjut Asha dengan suara bergetar menahan air mata yang mulai mendobrak keluar.

“Hey, lo kok jadi banyak omong gini sih? Kayaknya pas gue lihat lo di TV ga banyak omong deh.” Zoey malah menggodanya, membuat laki-laki ini menundukkan kepalanya.

Zoey tertawa pelan melihat Asha mengelap air matanya yang mulai keluar, selanjutnya ia membawa tangan kanannya mengusap puncak kepala Asha. “Jangan nangis gini, Sha. Lo jadi kayak anak kecil kalo lagi nangis tau.”

“Lo kenapa sih jadi suka godain gue gini, Zoey?”

“Hahaha, kan mas mantan gue yang ngajarin.” Zoey kini mengacak-acak rambut Asha.

“Diem.”

Kemudian keduanya kembali terdiam, kembali sibuk dengan pikiran masing-masing. Masih dengan Asha yang tertunduk dan Zoey yang sedari tadi betah memperhatikannya.

“Sha?” tegur Zoey pelan.

“Hm?”

“Iya bener, gue sakit selama ini. Tapi maafin gue ya yang sembunyiin ini semua dari lo. Gue sebenernya bahagia bisa hidup seperti kemarin-kemarin yang bareng lo. Gue juga suka bisa nyobain hal-hal baru sama lo. Gue bersyukur bisa kenal lo di penghujung hidup gue.”

“Jangan bilang gitu, Zoey. Lo pasti masih bisa bertahan lebih lama lagi.”

Zoey menggelengkan kepalanya. “Enggak, Sha. Gue udah capek dipasangin alat-alat, gue udah capek disuntik lebih dari lima kali sehari, sakit Sha...”

“Zoey...”

“Gue gamau lama-lama di rumah sakit lagi, Sha. Gue benci bau rumah sakit, rasanya menyesakkan di sini.”

Asha segera membawa Zoey kedalam pelukannya, ia memilih untuk membuat perempuan ini nyaman, dan berharap suatu hal buruk tidak akan terjadi sekarang.

“Lo harus bahagia terus ya, Sha. Jangan sedih-sedih lagi kayak gini, gue ga suka dan sedih juga ga cocok buat lo.”

“Lah gue kan juga manusia, masa ga boleh sedih? Curang dong kalo gitu.” Asha tetap menjawabnya dengan cara sendiri.

Zoey sempat tersenyum sesaat. “Dari awal memang gue udah minta buat jangan berharap banyak sama gue, karena gue tau gue ga bakal bisa wujudin itu. Maafin gue ya, Sha.”

“Zoey, jangan kayak gini...”

“Sha, jangan pernah jatuh ke jurang alkohol lagi, gue seneng banget lo bisa pulang ke keluarga lo. Makasih udah mau hadir di hidup gue...”

Hingga tidak ada satu patah kata lagi yang keluar dalam beberapa menit setelahnya. Raga yang berada di dekapan Asha tiba-tiba melemah. Ketika Asha menolehkan kepalanya, ia menemukan Zoey sudah memejamkan matanya.

Dan sekenario Tuhan memang selalu baik, Semesta juga menjalankannya dengan begitu baik. Karena bisa mempertemukan dan memisahkan kedua insan manusia dengan berbagai hal yang tidak terguga.


Tak terasa sudah satu jam lamanya Asha dan Zoey menghabiskan waktu di dalam mobil, bahkan sudah puluhan kilometer mobil itu melaju di atas aspal hitam. Sebenarnya Zoey pun tidak paham seberapa jauh Asha akan membawanya pergi.

“Sabar ya Zoey bentar lagi sampe,” celetuk Asha menyadarkan Zoey dari lamunannya menatap ke luar jendela.

Zoey mengalihkan tatapan dinginnya memperhatikan Asha yang sibuk menyetir. “Harusnya tadi gausah mampir photobox biar cepet nyampenya.”

Asha hanya terkekeh pelan mendengarkan omelan Zoey, ia membawa tangannya ke puncak kepala perempuan di sampingnya, dan mengacak pelan rambutnya. “Iyaa maaf.”

“Asha, jangan acak-acak rambut gue!”

“Loh, kok gaboleh?”

“Emang gaboleh.”

“Padahal kan lo sering buat gue acak-acakan, kenapa gue gaboleh buat lo acak-acakan?”

“Dih orang gue biasa aja, lo nya udah acak-acakan sendiri.” Zoey tertawa pelan setelah berhasil mengejek Asha.

Mampu tertawa karena hal-hal sederhana membuat Zoey tersadar sudah sejauh ini dirinya merasa nyaman di sekitar Asha. Dan mungkin perkataan teman-temannya tempo hari ada benarnya, bahwa ia harus membiarkan dirinya sendiri merasakan bahagia.

Tak lama kemudian Zoey mulai meluruskan punggungnya, terlihat begitu bersemangat saat langit penuh ribuan bintang ditangkap oleh netranya.

“Bintang!” Pekik Zoey tertahan. “Eh ini udah sampe?”

Asha hanya mengangguk sembari tersenyum melihat betapa semangatnya perempuan itu. Dengan segera ia menghentikan laju mobil dan keduanya telah sampai di sebuah tempat tinggi di pinggir kota.

“Zoey, mau lihat dari luar ga?”

“Hah?”

“Yuk.”

Tanpa menunggu persetujuan dari Zoey, Asha sudah lebih dulu membuka pintu mobil, membiarkan dirinya di rangkul oleh gelapnya malam. Kakinya berlari-lari kecil membawa daksanya ke depan mobil, tangannya pun melambai pelan meminta Zoey untuk ikut dengannya.

Zoey tersenyum melihat ekspresi Asha nampak seperti anak kecil yang mengajak mamanya pergi, begitu menggemaskan menurutnya. Tapi hal itu juga membuatnya merenung, seketika teringat dengan Noey, adiknya yang sudah berada di pelukan Sang Pencipta.

Menyadari Zoey merenung, dengan segera Asha berjalan ke arahnya, membuka pintu penumpang tempatnya duduk, lalu mengajak perempuan ini keluar. “Heh ayo, kok malah diem aja?”

“Gue... keinget Noey, Sha...” jawab Zoey dengan nada yang sendu.

Asha meraih pelan tangan Zoey, membawa perempuan ini bergabung dengan dirinya yang dipayungi ribuan bintang. “Coba deh lihat ke atas.”

Zoey mulai menengadahkan kepalanya, maniknya berbinar menatap bintang-bintang yang menghiasi langit gelap di atas sana.

“Langitnya terlalu cantik buat didiemin aja, Zoey.” Asha tersenyum melihat perempuan yang kini berdiri di hadapannya. “Walau masih cantikan lo sih.”

Sorot mata Zoey langsung terarah pada laki-laki yang baru saja menggodanya, perlahan sebuah senyum mengembang di bibir tipisnya.

Asha perlahan menyelipkan jemarinya ke jemari Zoey, kemudian ia mengajak perempuan itu untuk duduk di atas kap mobil.

“Bener kata lo, langitnya cantik banget,” ucap Zoey, membuat Asha mengangguk pelan.

Sedari tadi pandangan Asha tidak dapat lepas dari Zoey, ia sangat betah memandang perempuan yang satu ini dari samping, bahkan ia pun tidak peduli kalau setelah ini pipinya akan sakit karena terus tersenyum.

“Kalau mau nyender, nyender aja di pundak gue gapapa,” dengan nada bercanda Asha berusaha menggoda Zoey yang duduk di sampingnya.

Tanpa perlu kata, candaan Asha langsung diiyakan. Zoey dengan segera merebahkan kepalanya di pundak Asha. Dan seketika tercium harum musk dari laki-laki ini yang ia suka, membuatnya tersadar bahwa sekarang ia berada sangat dekat dengan tubuh Asha. Sebenarnya Zoey merasa begitu asing, karena ini pertama kalinya ia bersikap seperti ini dengan seorang laki-laki.

“Gini bentar ya, Sha,” gumam Zoey pelan.

Asha sempat mematung sejenak, kaget dengan Zoey yang mau memakai pundaknya untuk bersandar.

Selanjutnya keduanya hanya diam, memandang bintang-bintang yang bertaburan di angkasa, namun anehnya tak ada rasa canggung di sana, walau mereka hanya dapat mendengar suara napas satu sama lain. Ini menenangkan, pikir Asha.

Mungkin kata doyi benar, Asha telah terkena sihir Zoey hingga segala tentang perempuan itu selalu bisa membuatnya tenang. Bahkan Asha bisa menjadi sosok pemerhati paling andal ketika ada Zoey di sekitarnya, padahal sudah bukan rahasia lagi kalau ia sebenarnya orang cuek pada sekitar.

“Zoey?” deham Asha pelan.

“Hm.”

Asha menolehkan kepalanya perlahan, mencari tatapan perempuan yang saat ini bersandar di pundaknya.

Zoey mengerutkan dahinya bingung, tatapannya lurus ke mata Asha. Dan dengan ekspresi yang sulit dipahami, Asha hanya diam dan menatapnya lekat-lekat.

Belum sempat Zoey memprotes Asha yang dirasa begitu dekat dengannya, bersamaan dengan harum musk yang lagi-lagi terhirup oleh hidungnya, laki-laki ini sudah terlebih dahulu menghapus jarak di antara keduanya.

Asha menarik kedua pipi Zoey secara lembut, dengan memejamkan kedua bola mata, secara perlahan mempertemukan bibirnya dengan bibir merah perempuan itu.

Saat ini untuk pertama kalinya Zoey paham mengenai ratusan kupu-kupu yang berterbangan di dalam perut. Tentang sensasi rasa menggelitik yang menyenangkan. Dan Ia hanya bisa menutup matanya, membiarkan Asha mengangkat dagunya.

Sejujurnya Zoey bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi, dirinya pun semakin dibuat bingung saat mencoba memproses semuanya, Namun ia tetap membalas dan membiarkan tangannya melingkar di leher Asha.

Ciuman mereka terasa begitu pelan dan tidak menuntut, membuat Zoey menikmati tiap-tiap lumatan yang Asha berikan.

Ketika sebuah notifikasi telpon masuk ke ponsel Asha, saat itu juga Asha tersadar dan dengan perlahan melepas tautan di antara mereka. Keduanya kembali terdiam seraya mendengarkan deru napas satu sama lain.

“Bentar Zoey,” bisik pelan Asha, ia mengecek siapa penelepon yang mengganggu waktunya bersama Zoey. “Gue angkat telpon abang gue dulu.”

Asha beranjak dari duduknya dan menarik dirinya sedikit menjauh untuk mengangkat telpon tersebut.

Zoey akui hal yang baru saja terjadi membuat dirinya merasa bahagia, tetapi seperti ada hal lain di dalam dirinya yang menentangnya. Ia pun bingung harus mengikuti logika atau hatinya.

“Pulang yuk, Sha. Kepala gue pusing,” ucap Zoey saat Asha kembali setelah selesai berbicara dengan ditelponnya.

“Sekarang?”

“Iya.”

Asha menurutinya, dengan segera ia menggendong Zoey turun dari kap mobil. “Oke ayo, udah mau tengah malem juga.”

Malam ini memang begitu cantik, bahkan ratusan bintang dan kupu-kupu pun ikut bereksistensi menjadi saksi kisah keduanya.


Langit membiru cerah membentang luas ditemani matahari yang sinarnya belum terasa panas. Semburat jingganya menyinari wajah dua insan semesta yang tengah duduk berhadapan di sebuah meja kedai kecil di pinggir kota.

Tidak banyak yang dilakukan Asha dan Zoey ketika telah menemukan apa yang mereka cari, hanya menghabiskan satu mangkuk penuh bubur ayam di hadapan masing-masing.

Zoey melirik Asha yang makan dengan begitu lahap di hadapan nya, “Enak banget ya? Sampe lahap banget gitu makany—”

“Ada bubur yang nempel di pipi tuh,” potong Asha seketika memajukan tanganya kanannya, mengambil buliran bubur yang menempel di pipi Zoey.

“Bilang dong, udah kayak anak kecil aja gue dilapin segala.”

“Kan emang lo anak kecil—”

“Gausah mulai,” sambar Zoey yang langsung memotong kalimat Asha.

Asha tertawa pelan memperlihatkan lesung di kanan dan kiri pipinya, tapi Zoey yang ditertawai hanya memilih diam, melanjutkan makannya dengan perlahan, dan sesekali memperhatikan Asha yang telah selesai makan. Tatapan matanya tidak bisa beralih dari plester luka lusuh di punggung tangan Asha.

“Gue bayar dulu, lo lanjut makan aja.”

Asha beranjak dari duduknya dan pergi ke kasir membayar pesanan mereka, tak lama kemudian ia kembali menghampiri Zoey yang masih belum beranjak.

“Gua keluar bentar ya,” bisik Asha tepat di telinga Zoey.

“Mau kemana, Sha?”

“Cari bintang.”

Dengan segera Zoey meraih pergelangan tangan Asha sebelum laki-laki itu benar-benar pergi, hal itu sukses membuat Asha menoleh cepat ke arahnya.

“Kenapa?”

“Ga ada lagi bintang-bintangan, sini duduk,” pinta Zoey dengan dingin dan tegas.

Perintah Zoey bagaikan sihir, Asha tanpa ragu langsung menurutinya. Ia urung pergi dan memilih duduk di hadapan Zoey yang sedang mencari sesuatu di dalam sling bag nya.

“Udah, mau sampai kapan tangan gue lo pegangin?”

“Bentar.”

“Kalo mau gue gandeng bilang aja kali.” Asha perlahan melepaskan genggaman tangan Zoey, menggantinya dengan ia yang menggenggam tangan Zoey.

Setelah selesai berkutat dengan benda-benda di dalam sling bag nya, tanpa kata Zoey langsung melepas genggaman Asha, membuat laki-laki itu kebingungan.

Tangan Zoey juga beralih meraih pelan tangan kiri Asha, membuat dirinya semakin bingung bukan main.

“Gue ga mau digandeng sama tangan yang plester lukanya kotor,” kata Zoey.

Asha memang tidak mengganti plester lukanya sejak pulang dari Rumah Sakit dua hari yang lalu, membiarkannya tetap menempel walau sudah begitu lusuh. Dan kini akhirnya Zoey membuka plester luka itu, menampakkan luka yang masih memerah bekas infus.

“Plester luka tu harusnya diganti tiap hari biar ga infeksi,” ucap Zoey yang masih sibuk dengan plester luka di punggung tangan Asha.

“Biar bisa gandeng tangan lo juga kan?”

Zoey memang tidak seperti perempuan lainnya yang akan langsung merona pipinya saat dilontari pertanyaan tengil Asha. Dirinya malah menekan luka itu pelan membuat laki-laki dihadapannya meringis kesakitan.

“A-aduh, sakit tau Zoey.”

Setelah selesai mengganti plester luka Asha dengan yang baru bermotif dinosaurus. “Kenapa sih lo ga ganti plesternya sampe buluk gitu? ga takut infeksi apa?”

“Lo juga kenapa perhatian banget sama gue? Katanya gue ga boleh nyaman sama lo?”

”...”

Pertanyaan Asha kali ini membuat Zoey terdiam. Belakangan ini Zoey juga tidak mengerti dengan perilakunya sendiri pada Asha. Mungkin kah rasa nyaman mulai tumbuh di dalam dirinya.

Sejujurnya Zoey juga tidak menemukan alasan untuk tidak merasa nyaman dengan laki-laki yang rela mengantri satu jam untuk membelikannya sarapan, mempedulikan isi kulkasnya yang kosong, dan mencarinya saat mobilnya mogok di malam hari.

“Udah gausah dipikirin, gue cuma bercanda.” Asha memperhatikan plester luka yang kini telah menempel di punggung tangannya.

“Gue ga punya plester luka di rumah, jadinya ga gue ganti deh,” lanjutnya.

“Yaudah nanti gue beliin.”

“Yang motifnya dinosaurus kayak gini ya.”

“Iyaa.”

Sudut bibir Zoey terangkat melihat kelakuan laki-laki di depannya. Selain aneh orang ini juga kekanakan, pikirnya.

Memang dunia selalu punya caranya sendiri untuk membuat manusianya menyerah pada rasa.

Berhentilah keras kepala dengan menahannya, Zoey.


Selain rasa panik sudah menguasainya, juga ada rasa bersalah yang mengintai Zoey saat ini. Jika saja malam tadi ia tidak menarik garis batas, Asha tak akan seperti ini sekarang.

“Sha, Asha!”

Saat Zoey telah berhasil membuka pintu rumah Asha yang dirinya temukan hanyalah gelap dan berantakan. Zoey menjelajahi semua sudut, tapi tetap saja tidak ada tanda-tanda keberadaan penghuni rumah.

Hingga hanya ada satu pintu yang sama sekali belum dibukanya, Zoey segera membuka pintu itu dan menemukan tubuh Asha yang terlelap pulas di atas ranjang.

“Shit, gue panik nyariin, malah lo nya enak-enakan mimpi.”

Langkah cepat membawa Zoey ke sisi ranjang. Ia menarik paksa selimut tebal yang dikenakan Asha.

“Sha?” Tegur Zoey setelah tak mendapatkan respon.

Tangan Zoey dengan cepat menyentuh kening Asha, menyadari bahwa suhu badan laki-laki itu begitu panas.

“Asha? lo kenapa?”

“Zoey,” gumam Asha pelan. Seperti sudah begitu hapal dengan suara perempuan satu ini.

Asha berusaha membuka matanya yang terasa sangat berat, menemukan tatapan cemas Zoey yang menatapnya.

“Asha, jawab gue.” Tegur Zoey lagi.

Ini lo beneran, Zoey?”

“Iya, ini gue.”

“Gue kira tadi cuma mimpi.”

Seutas senyum perlahan mengembang di bibir tipis Asha memperlihatkan sepasang lesung di pipinya. Tapi kini ia tidak lagi ia menahan matanya yang berat, ia menutup matanya lagi.

“Lo kok bisa ada di sini?” Lanjutnya dengan nada yang begitu lemah.

“Itu ga penting, Sha. Yang penting kita ke rumah sakit sekarang.”

“Ngapain?”

“Ngapain? Lo tanya ngapain? Badan lo panas banget, Asha.”

Suara Zoey terdengar sangat panik sekarang, bahkan sudah berkali-kali ia menyentuh kening Asha yang tetap terasa begitu panas.

Asha meraih tangan Zoey yang sedari tadi menyetuh keningnya, menarik perempuan itu pelan menjadikannya duduk di tepian ranjang, dan Zoey menatapnya dengan tatapan bingung bercampur cemas.

“Lo beneran Zoey bukan sih? Tangan lo dingin banget. Apa lo setan?”

“Jangan bercanda dulu, Sha. Kita ke rumah sakit sekarang,” ajak Zoey dengan suara pelan.

“Apa malah lo princess elsa? Tapi ini gue gabakal beku kan megang lo, Zoey?”

“Sha, dengerin gue—”

“Tangan lo kecil, Zoey. Cocok banget kayaknya gue gandeng.”

“Adyrasha, gue mohon dengerin gue.” Zoey meninggikan nadaanya dengan suaranya yang bergetar.

Detik setelahnya Asha tersadar suara Zoey kini sudah berubah menjadi begitu cemas, bahkan ia pun terkejut mendengar Zoey terisak pelan, tapi tidak banyak yang bisa ia lakukan, ia hanya menjawabnya dengan anggukan lemas.

Tak ingin membuang waktu dengan cuma-cuma, Zoey dengan segera memapah daksa yang lebih besar darinya itu masuk mobil, dan membawanya ke rumah sakit.

Tepat saat mereka tiba, badan Asha langsung diambil alih oleh perawat untuk ditangani di UGD.

Kini terduduk cemas Zoey di kursi tunggu depan ruang UGD. Kepalanya menunduk, badannya membungkuk, kedua tangannya pun berada di pelipis. Rambutnya yang hitam lurus tergerai kacau menutupi wajahnya, matanya merah, dan air mata mengalir dari sana.

Dihantui rasa takut akan kehilangan seseorang lagi di rumah sakit dan juga rasa bingung pada dirinya sendiri. Bagaimana bisa Zoey secemas ini hanya karena Adyrasha, orang yang belum lama ini dikenalnya.

Melihat Zoey yang seperti itu membuat seseorang yang mengenalnya ingin menghampirinya untuk memberinya semangat atau sekedar bertukar senyum. Dengan langkah pelan orang yang memakai jas putih itu mendekat.

“Zoe—”

Sayangnya ia kalah cepat dengan Bujang Bengkel Mesin yang telah menghampiri Zoey lebih dulu.