mochaayo


“Pengang tangan gue aja kalo lo gemeteran.”

Asha menawarkan tangan kanannya ke hadapan Zoey. Memang ia tidak tau apa yang terjadi di masa lalu, yang membuat perempuan ini begitu gemetar berada di tengah festival. Tapi yang Asha tau, sekarang ia harus berusaha membuat Zoey setenang mungkin bersamanya.

Yang ditawari hanya membalasnya dengan tatapan dingin. “Gausah, makasih.”

Zoey lebih memilih memegang erat ujung leather jacket yang dikenakan Asha daripada tangannya.

“Lucu,” ucap Asha pelan dengan sudut bibir terangkat melihat kelakuan Zoey sekarang ini.

“Apa? Lo bilang apa? Gue lucu?”

“Enggak,” jawab Asha dingin, berlagak tidak melakukannya. “Gue bilang lo orang aneh, dikasih tangan malah milih jaket.”

“Iyalah, soalnya tangan lo bau,” balas Zoey dengan diiringi tawa.

Sejujurnya tanpa diberi tangan atau pun ujung jaket, Zoey telah merasa aman hanya dengan berada di dekat Asha. Walau pun gemetar ia tetap mampu menikmati pentas musik yang ada di atas panggung Teufest.

“Pulang yuk, Sha.” Bisik Zoey tepat di telinga Asha.

“Sekarang?”

Zoey hanya mengangguk. Ia juga mulai merapikan jaketnya, mengajak Asha untuk segera meninggalkan kerumunan.

Namun belum sempat melangkah, pergelangan tangan Zoey diraih pelan oleh Asha, membuat dirinya dengan reflek menoleh, dan detik selanjutnya mata Zoey bertemu dengan tatapan Asha.

“Kenapa?”

“Nanggung udah sampe sini masa ga nonton Ardhito.”

“Kalo nungguin Ardhito bakal pulang tengah malem jadiny-”

Zoey menghentikan ucapannya karena orang-orang di sana mulai berteriakan. Meneriakkan nama guest star yang kini mulai naik ke atas panggung, Ardhito Pramono.

Tak lama setelahnya lantunan musik membawa sang penyanyi menyanyikan lagunya yang berjudul I just couldn't save you tonight.

“Yaudah satu lagu aja ya.”

“Zoey?” deham Asha pelan.

“Hm?”

Asha merundukkan kepalanya perlahan, berusaha mendapati tatapan perempuan yang saat ini berdiri di depannya.

Falling in love is a new world for me Do you wanna be my company? From thousands of miles you will like gettin' here No need no anniversary

Di bawah langit malam ditemani suara Ardhito yang membawakan sebuah lagu romansa, Asha memantapkan hatinya mengatakan apa yang selama ini ia pendam.

“Anu... gue mau confess.” Asha menggaruk telungkuknya dengan kikuk. “Sebenernya gue nyaman setiap bareng lo, Zoey.”

Sebenarnya juga Asha tidak berharap banyak, terserah kalimatnya akan ditanggapi atau tidak, malah kalau bisa dilupakan saja.

“Jangan, Sha.” Zoey perlahan melepas genggaman tangan Asha. “Jangan berharap banyak sama gue.”

Asha tertegun sejenak, badannya menegang seketika, confess-nya ditolak mentah-mentah tepat di lirik terakhir lagu yang dibawakan Ardhito.

I just couldn't save you tonight

Sempat ada hening beberapa detik di antara keduanya, hingga jutaan air hujan mulai turun ke bumi secara perlahan.

“Sha, hujan!” Zoey memutar tubuhnya dan mulai melangkah meninggalkan tengah ke ramaian.

Namun, ia dibuat kembali lagi karena sadar dengan Asha masih mematung.

“Heh, ayo!”

Kini giliran Zoey yang menggengam pergelangan Asha, menariknya untuk segera menepi mencari tempat berteduh.

Setidaknya malam ini berkat Asha, salah satu dari harapan Zoey sudah terpenuhi. Bagaikan mimpi baginya bisa datang lagi ke sebuah festival setelah terjadinya peristiwa yang membuatnya menyesal di beberapa tahun terakhir.

Malam itu adik tersayangnya sedang mengalami masa kritis saat ia tengah bahagia berada di festival. Dan keramaian festival juga telah menjadi latar Zoey mendengar sebuah kabar duka yang tak pernah sekali pun ia bayangkan, Noey telah meninggalkannya untuk selamanya.


Dengan membawa sekaleng bintang di tangan kanannya, Zoey kini berjalan kembali ke mobilnya. Kap mobil Audi hitam tersebut sudah tertutup rapat, terlihat juga Asha telah merapikan perkakas dan menunggu kedatangannya.

“Udah selesai?”

“Iya, tadi gue coba udah bisa nyala.”

Zoey mengangguk, lalu menyerahkan bawaannya yang langsung di terima Asha.

“Langsung pulang lo, jangan mampir-mampir udah mau tengah malam,” ucap Asha dengan mulai melangkah meninggalkan Zoey.

“Mau kemana? Ga balik?”

“Mau lihat dunia.”

Zoey tidak menghiraukan Asha yang memintanya langsung pulang, dirinya malah mengikuti Asha dari belakang layaknya anak itik yang mengikuti induknya.

Keduanya berhenti saat langkah kaki telah membawa mereka tiba di atas jembatan penyebrangan. Dengan Asha mulai membuka bir kalengan yang sedari tadi ada ditangannya.

“Lo kok bisa tau mobil gue mogok di sekitar sini?”

“Keren kan? Gue punya indra ke-enam.”

“Beneran?”

“Engga lah, bohongan.” Tawa pelan Asha keluar begitu saja melihat Zoey kesal.

“Nyebelin banget untung ga gue bakar lo kayak nih rokok.”

Zoey kini mulai mengikuti Asha dengan membakar satu batang rokok yang telah terselip di mulutnya.

“Lo bisa ga sih gausah nyeremin sehari aja? Mana galak bener ga kayak aquarius biasanya.”

“Gue bukan aquarius.”

“Tapi password apart lo...”

“Itu tanggal lahir adek gue.” Jawab singkat Zoey yang terdengar begitu tegas.

“Pantesan aja belakangnya 05.”

Ada sunyi sejenak disana. Dengan sesekali meneguk minumannya, Asha terus memperhatikan sosok Zoey dari samping, ia juga memperhatikan bagaimana Zoey menghisap dan menghembuskan asap dari sebatang rokoknya.

“Bintang enak ya?” Tanya Zoey tiba-tiba yang mengejutkan Asha.

Asha mengangguk, “Iya, bintang rasanya pahitnya pas tapi enteng ga kayak amer rasanya aneh.”

“Rokok enak?” Lanjutnya.

“Enggak,” Zoey menggeleng. “Ga ada enaknya sama sekali, tapi anehnya gue suka berharap masalah hidup gue bakal cepet hilang kayak asap rokok yang kebawa angin.”

Sejujurnya Zoey tidak pernah merokok di depan orang lain sekarang ini. Biasanya ia selalu menikmati batang penuh racun itu sendirian. Tapi berbeda dengan malam ini, ia merokok bersama seorang pecandu alkohol, Asha.

“Udah mau jam dua belas.” Asha melirik arloji yang melingkar ditangannya. “Pulang malem gini lo ga dimarahin, Zoey?”

“Enggak,” Kali ini Zoey tersenyum kecut. “Siapa juga yang bakal marahin gue?”

“Papa mama lo?”

“Udah bahagia sama keluarga barunya masing-masing.”

“Adek lo?”

Zoey tak langsung menjawab, ia tertegun sejenak. Senyumnya yang kecut tadi berubah menjadi senyuman yang sulit Asha artikan.

“Adek lo tinggal sama lo kan? Masa ga nyariin lo?” Asha mengulangi pertanyaannya.

“Enggak juga, kita tinggal sendiri-sendiri kok, gue di bumi dia di surga.”

Asha tersadar akan kalimatnya barusan terlihat cukup kaget, lagi-lagi Zoey mampu mengejutkan dirinya.

“Maaf, Zoey.”

“Santai aja kali.” Zoey terkekeh pelan. “Emang ga ada yang peduli sama hidup gue kok.”

“Jangankan gue pulang malem, gue ga pulang, gue ga makan, tidur gue ga nyenyak, bahkan gue sakit aja ga ada yang peduli.” Lanjutnya dengan terkesan sedang menertawai diri.

“Gue peduli sama lo kok, Zoey.” Ucap asha setelah ada hening di sepersekian detik.

“Siapa? Elo? Orang yang baru kenal gue satu bulan?”

Zoey menatap lurus mata Asha di depannya, perlahan tawanya keluar hingga menitikan air mata disudut-sudut matanya. Sedangkan yang di tertawai hanya diam dan menggaruk telungkuknya.

Mungkin memang Asha dihadirkan untuk membawa kembali tawa yang telah lama hilang dari dunia Zoey melalui satu dua kejadian yang mempertemukan keduanya.

“Kata orang hidup itu kayak komedi putar, kadang di atas kadang di bawah, tapi kayaknya komedi putar gue ga berputar deh.” Celetuk Zoey tiba-tiba.

Sudut bibir Asha terangkat. “Lo ga sendirian, karena gue juga merasakannya, atau malah mungkin kita ada di kabin yang sama.”

Zoey mengerutkan dahinya heran, cowok di sampingnya ini memang selalu bertingkah tengil dan menyebalkan, tapi kali ini rasanya berbeda.

“Gue juga hidup sendirian kayak lo, sejak tiga tahun lalu, bahkan gue harus denger berita menyedihkan tiap kali ada keluarga yang peduli sama gue.”

“Orang tua lo sama kayak gue?”

“Enggak sih, gue cuma ga bisa memenuhi ekpetasi Papa gue aja.” Kini giliran Asha yang tersenyum miring. “Gue capek selalu dituntut jadi kayak abang gue, padahal gue ya gue, abang gue ya abang gue, beda.”

“Sampe alkohol jadi pelarian gue, dan akhirnya gue yang hobi mabok sama bikin onar itu diusir Papa.” Lanjutnya dengan nada melemah diakhir.

Zoey menatapnya dengan hangat, bahkan senyum tipis juga tersemat di bibir tipisnya. Ia tidak memandang Asha seperti seorang kriminalis yang pantas dihukum.

“Gapapa, masih mending cuma alkohol enggak ganja.” Zoey juga menepuk-nepuk punggung Asha.

Tanpa sadar melalui kalimat sederhana Zoey mampu menguatkan Asha. Selama ini orang-orang hanya menghakiminya tanpa mau mengerti apa yang sebenarnya Asha rasa.

“Kalo gue bisa melepaskan diri dari alkohol pasti gue bisa balik.”

Mendengarnya Zoey langsung menyenggol Asha dengan keras sampai bintang kalengan yang ada di tangannya terjatuh dan tumpah.

“Kena motor yang lewat di bawah Zoey!”

“Gapapa seenggaknya rasa nyesel gue setelah beliin bintang berkurang.” Zoey membuang putung rokoknya. “Lo harusnya bersyukur, suatu saat nanti bisa balik ke keluarga.”

Melainkan marah, Asha malah tersenyum lebar hingga menampakkan sepasang lesung pipinya.

Ya ini lah Zoey, dengan segala hal yang membuatnya istimewa, pikir Asha.


Sejak turun dari mobil Asha sudah sibuk menetralkan jantungnya yang berdegup kencang. Tangannya terasa dingin dan ia merasa tegang. Hingga langkah kaki Asha dibuat terhenti seketika saat dirinya menangkap suasana kemewahan disana.

Halo dunia yang udah lama ga gue kunjungi, katanya dalam batin setelah menghembuskan napas panjang.

“Heh ngapain? Mau jadi pager bagus lo disini?” Cetus Zoey menyadarkan lamunan laki-laki dihadapannya.

Pertanyaan itu membuat Asha tertawa pelan, “Maaf tadi jiwa gue tiba-tiba lepas dari badan.”

Jawaban konyol keluar begitu saja dari mulut Asha.

“Untung ga tiba-tiba dipanggil Tuhan lo.” Balasan Zoey terdengar begitu dingin.

“Nyeremin anjir.” Mata Asha terpatri kepada Zoey yang kini memimpin jalan.

Dari arah dalam ruangan Oma yang mengenakan gaun berwarna cokelat chestnut menyadari kehadiran cucunya. Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu berjalan pelan ke arah mereka berdua.

“Zoey? Sama siapa? Pacar kamu?” Oma Yustina sudah sangat penasaran dengan laki-laki yang berada tepat di samping Zoey.

Mendengar namanya disebut Zoey segera menghentikan langkah dan menoleh ke asal suara tersebut.

“Iya oma, namanya Asha. Sha, ini Oma gue,” balas Zoey yang berusaha setenang mungkin mengenalkan keduanya secara singkat.

“Malam Oma,” Sapa Asha dengan senyumnya yang perlahan mengembang.

“Halo Asha, malam juga.”

Oma Yustina tersenyum sembari menatap Asha sedikit lebih lama. Dan yang ditatap hanya bisa mempertahankan senyuman selagi ditatap hangat oleh wanita ini.

“Jadi jangan jodoh-jodohin aku sama anak atau cucu temen Oma lagi.” Pinta Zoey dengan menggenggam tangan Oma nya.

Oma menyentuh puncak kepala Zoey dan mengusapnya perlahan. “Oma berusaha mencarikan kamu teman supaya ga kesepian. Tapi kalau kamu bisa menemukannya sendiri itu bagus Zoey.”

“Asha, tolong jaga Zoey ya. Memang dia anaknya suka seenaknya sendiri, galak, dan keras kepala.” Lanjut Oma dengan menepuk pundak Asha.

“Oma ih...”

“Iya, bakal Asha jaga baik-baik cucu Oma.” Asha mengangguk pelan.

“Kok lo iyain sih, Sha?” Protes Zoey yang lagi-lagi tak didengar.

“Ini pertama kali kita bertemu tapi rasanya wajahmu tidak asing.” Oma merangkul Asha dan membawanya untuk duduk di salah satu meja.

Ucapan Oma membuat Asha dan Zoey tertegun sejenak, keduanya saling melirik, bagaimana bisa begitu pikir mereka.

“Yah... Maaf ya Asha, Oma lagi sibuk sekarang ini, semoga kita bisa ketemu lagi lain kali, goodbye Asha.” Oma Yustina melambaikan tangannya dan langsung melenggang pergi sebelum keduanya membalas.

“Wow keren juga lo langsung bisa ambil hati Oma,” puji Zoey membuat Asha memutar matanya.

“Jangan kaget lo kalo tiba-tiba dapet kakek baru.”

“Jadi lo mau nemenin gue karna mau cari sugar mommy disini.” Tawa pelan Zoey terdengar saat melihat ekspresi Asha menyetujui ucapannya.

Selanjutnya tak ada obrolan diantara keduanya, mereka hanya mendengarkan sambutan sembari menikmati beberapa kudapan yang disediakan oleh para pelayan.

Mata Asha memilih memperhatikan suasana dunia yang telah lama ia tinggalkan. Beralih dari satu objek ke objek lainnya, hingga tanpa sengaja matanya dipertemukan dengan tatapan tidak asing. Tapapan seseorang yang seharusnya tidak ia jumpai.

Sejujurnya Asha paham betul bahwa tidak ada yang menjamin ia tak akan bertemu dengan orang itu disini, terlebih ini acara mewah Oma Yustina yang dihadiri banyak koleganya.

Kini orang itu berjalan kearahnya, membuat Asha ingin cepat meninggalkan hall hotel, tapi tak mungkin baginya meninggalkan Zoey sendirian di tengah-tengah acara.

“Sha, gue mau keluar bentar, mulut gue pait mau nyebat,” bisik pelan Zoey di waktu yang tepat.

Tanpa membuang waktu Asha segera mengikuti Zoey dari belakang.

“Zoey, urusan kita udah beres kan? Gue pulang ya.”

“Lo mau pulang sekarang?”

Asha mengangguk pelan mengiyakan. “Temen-temen gue pada kerumah soalnya.”

“Gue anter ya? gue ikut pulang.”

“Gausah gue naik gojek aja, acara Oma lo kan belum selesai.”

“Ayo, gue udah bosen di sini,” ucap Zoey dengan memberikan kunci mobil ke Asha.

Tanpa menunggu acara selesai, mobil hitam yang membawa keduanya dengan cepat meninggalkan hotel Chytra.

“Sha, mampir ke Mcdonalds depan ya.”

Tanpa kata, Asha langsung menuruti permintaan Zoey dengan membawa mobil ke restoran cepat saji itu dan memarkirkannya.

“Maaf Zoey, gara-gara gue lo jadi ga makan di acara tadi.”

“Gausah minta maaf kalo bukan salah lo.” Zoey melepas safety belt dan bersiap turun dari mobil. “Temen lo yang ke rumah berapa orang?”

“Tiga orang.”

“Oke, beli enam.”

“Kok enam?”

“Buat temen lo, gue, sama lo dua,” jelas Zoey singkat. “Lo tunggu disini aja biar gue yang beli.”

“Mbak pacar... eh Zoey?”

Zoey berbalik segera ketika namanya disebut, ia sempat terkejut melihat Asha yang mengikutinya turun.

Dengan langkah lebar Asha mendekat lalu menaruh jas hitamnya di pundak Zoey. “Pake aja jas gue biar lo ga kedinginan.”