Komedi Putar yang Tak Berputar


Dengan membawa sekaleng bintang di tangan kanannya, Zoey kini berjalan kembali ke mobilnya. Kap mobil Audi hitam tersebut sudah tertutup rapat, terlihat juga Asha telah merapikan perkakas dan menunggu kedatangannya.

“Udah selesai?”

“Iya, tadi gue coba udah bisa nyala.”

Zoey mengangguk, lalu menyerahkan bawaannya yang langsung di terima Asha.

“Langsung pulang lo, jangan mampir-mampir udah mau tengah malam,” ucap Asha dengan mulai melangkah meninggalkan Zoey.

“Mau kemana? Ga balik?”

“Mau lihat dunia.”

Zoey tidak menghiraukan Asha yang memintanya langsung pulang, dirinya malah mengikuti Asha dari belakang layaknya anak itik yang mengikuti induknya.

Keduanya berhenti saat langkah kaki telah membawa mereka tiba di atas jembatan penyebrangan. Dengan Asha mulai membuka bir kalengan yang sedari tadi ada ditangannya.

“Lo kok bisa tau mobil gue mogok di sekitar sini?”

“Keren kan? Gue punya indra ke-enam.”

“Beneran?”

“Engga lah, bohongan.” Tawa pelan Asha keluar begitu saja melihat Zoey kesal.

“Nyebelin banget untung ga gue bakar lo kayak nih rokok.”

Zoey kini mulai mengikuti Asha dengan membakar satu batang rokok yang telah terselip di mulutnya.

“Lo bisa ga sih gausah nyeremin sehari aja? Mana galak bener ga kayak aquarius biasanya.”

“Gue bukan aquarius.”

“Tapi password apart lo...”

“Itu tanggal lahir adek gue.” Jawab singkat Zoey yang terdengar begitu tegas.

“Pantesan aja belakangnya 05.”

Ada sunyi sejenak disana. Dengan sesekali meneguk minumannya, Asha terus memperhatikan sosok Zoey dari samping, ia juga memperhatikan bagaimana Zoey menghisap dan menghembuskan asap dari sebatang rokoknya.

“Bintang enak ya?” Tanya Zoey tiba-tiba yang mengejutkan Asha.

Asha mengangguk, “Iya, bintang rasanya pahitnya pas tapi enteng ga kayak amer rasanya aneh.”

“Rokok enak?” Lanjutnya.

“Enggak,” Zoey menggeleng. “Ga ada enaknya sama sekali, tapi anehnya gue suka berharap masalah hidup gue bakal cepet hilang kayak asap rokok yang kebawa angin.”

Sejujurnya Zoey tidak pernah merokok di depan orang lain sekarang ini. Biasanya ia selalu menikmati batang penuh racun itu sendirian. Tapi berbeda dengan malam ini, ia merokok bersama seorang pecandu alkohol, Asha.

“Udah mau jam dua belas.” Asha melirik arloji yang melingkar ditangannya. “Pulang malem gini lo ga dimarahin, Zoey?”

“Enggak,” Kali ini Zoey tersenyum kecut. “Siapa juga yang bakal marahin gue?”

“Papa mama lo?”

“Udah bahagia sama keluarga barunya masing-masing.”

“Adek lo?”

Zoey tak langsung menjawab, ia tertegun sejenak. Senyumnya yang kecut tadi berubah menjadi senyuman yang sulit Asha artikan.

“Adek lo tinggal sama lo kan? Masa ga nyariin lo?” Asha mengulangi pertanyaannya.

“Enggak juga, kita tinggal sendiri-sendiri kok, gue di bumi dia di surga.”

Asha tersadar akan kalimatnya barusan terlihat cukup kaget, lagi-lagi Zoey mampu mengejutkan dirinya.

“Maaf, Zoey.”

“Santai aja kali.” Zoey terkekeh pelan. “Emang ga ada yang peduli sama hidup gue kok.”

“Jangankan gue pulang malem, gue ga pulang, gue ga makan, tidur gue ga nyenyak, bahkan gue sakit aja ga ada yang peduli.” Lanjutnya dengan terkesan sedang menertawai diri.

“Gue peduli sama lo kok, Zoey.” Ucap asha setelah ada hening di sepersekian detik.

“Siapa? Elo? Orang yang baru kenal gue satu bulan?”

Zoey menatap lurus mata Asha di depannya, perlahan tawanya keluar hingga menitikan air mata disudut-sudut matanya. Sedangkan yang di tertawai hanya diam dan menggaruk telungkuknya.

Mungkin memang Asha dihadirkan untuk membawa kembali tawa yang telah lama hilang dari dunia Zoey melalui satu dua kejadian yang mempertemukan keduanya.

“Kata orang hidup itu kayak komedi putar, kadang di atas kadang di bawah, tapi kayaknya komedi putar gue ga berputar deh.” Celetuk Zoey tiba-tiba.

Sudut bibir Asha terangkat. “Lo ga sendirian, karena gue juga merasakannya, atau malah mungkin kita ada di kabin yang sama.”

Zoey mengerutkan dahinya heran, cowok di sampingnya ini memang selalu bertingkah tengil dan menyebalkan, tapi kali ini rasanya berbeda.

“Gue juga hidup sendirian kayak lo, sejak tiga tahun lalu, bahkan gue harus denger berita menyedihkan tiap kali ada keluarga yang peduli sama gue.”

“Orang tua lo sama kayak gue?”

“Enggak sih, gue cuma ga bisa memenuhi ekpetasi Papa gue aja.” Kini giliran Asha yang tersenyum miring. “Gue capek selalu dituntut jadi kayak abang gue, padahal gue ya gue, abang gue ya abang gue, beda.”

“Sampe alkohol jadi pelarian gue, dan akhirnya gue yang hobi mabok sama bikin onar itu diusir Papa.” Lanjutnya dengan nada melemah diakhir.

Zoey menatapnya dengan hangat, bahkan senyum tipis juga tersemat di bibir tipisnya. Ia tidak memandang Asha seperti seorang kriminalis yang pantas dihukum.

“Gapapa, masih mending cuma alkohol enggak ganja.” Zoey juga menepuk-nepuk punggung Asha.

Tanpa sadar melalui kalimat sederhana Zoey mampu menguatkan Asha. Selama ini orang-orang hanya menghakiminya tanpa mau mengerti apa yang sebenarnya Asha rasa.

“Kalo gue bisa melepaskan diri dari alkohol pasti gue bisa balik.”

Mendengarnya Zoey langsung menyenggol Asha dengan keras sampai bintang kalengan yang ada di tangannya terjatuh dan tumpah.

“Kena motor yang lewat di bawah Zoey!”

“Gapapa seenggaknya rasa nyesel gue setelah beliin bintang berkurang.” Zoey membuang putung rokoknya. “Lo harusnya bersyukur, suatu saat nanti bisa balik ke keluarga.”

Melainkan marah, Asha malah tersenyum lebar hingga menampakkan sepasang lesung pipinya.

Ya ini lah Zoey, dengan segala hal yang membuatnya istimewa, pikir Asha.