Cerita Tentang Luka
“Belajar yang pinter, jangan nakal, nurut sama gurunya, oke?” ucap Nathan dengan tangan mengusap pelan puncak kepala Biyu.
Yang diajak bicara hanya mengangguk paham dan melangkah pergi meninggalkan dua orang yang mengantarkannya berangkat sekolah pagi ini.
“Udah yuk pulang.”
Kale mengulurkan tangan kanannya ke hadapan Nathan yang masih berjongkok menatap punggung Biyu yang perlahan menjauh. Mencoba menawarkan bantuan untuk tumpuan laki-laki itu berdiri.
Namun, yang ditawari malah membalasnya dengan candaan. “Modus kan lo? Mau pegang-pegang gue.”
“Dih ngapain.” Kale menatap Nathan dingin.
Mungkin mengerjai Kale sudah menjadi kebiasaan Nathan. Menurutnya muka kesal Kale begitu candu, membuatnya ingin sering melihatnya.
“Ini beneran langsung pulang, Kal?”
“Pulang lah, emang lo mau tidur di sini?” ucap Kale dengan mulai melangkah meninggalkan Nathan.
“Ya enggak.” Nathan yang baru saja berdiri malah dibuat kaget oleh Kale yang tiba-tiba menyebrang jalan. “Heh! Mau kemana? Pulang kan ga ke arah sana.”
“Mau beli es dawet.”
Tanpa pikir panjang, Nathan dengan segera mengikuti Kale. Layaknya itik yang tak mau kehilangan induknya.
“Lo pernah makan es dawet ga?”
“Es dawet?”
“Ga pernah ya?” Sejujurnya Kale tak heran jika dugaannya benar. “Mau coba ga?”
“Boleh.”
Kemudian keduanya sama-sama menikmati es dawet yang tadi telah dipesan oleh Kale. Dan untuk pertama kalinya Nathan mencoba dawet hijau yang dipadukan dengan santan dan gula merah cair.
Walaupun tempatnya hanya terdapat kursi tanpa meja, tapi Nathan bersyukur setidaknya tempat kali ini ada kemajuan dari sebelumnya.
“Mantan lo yang kemarin namanya siapa, than?” tanya Kale tiba-tiba.
Nathan tak langsung menjawab, ia tertegun sejenak. “Ella, Stella Anastasya”
“Anak kampus kita juga?”
“Iya, satu angkatan sama gue, anak FEB.”
“Terus kenapa lo gamau balikan aja sama dia? Padahal kan Ella cantik, pinter, anaknya orang berduit juga kayaknya.”
“Gue penganut paham hidup selalu maju dan gak kembali ke masa lalu,” ucap Nathan santai dengan memakan dawet hijau dari mangkuknya.
“Kalo kata orang jawa tuh ya balikan sama mantan kayak makan sayur kemarin yang dipanasin, hambar,” lanjutnya.
“Emang kenapa lo bisa putus sama dia?”
Sudut bibir Nathan terangkat, seakan menertawakan dirinya sendiri. Sejujurnya ia ingin memilih bungkam, tapi mulutnya terus bergerak dan mengucapkan, “dia selingkuh sama temen gue sendiri.”
Kale mengerutkan dahinya heran, laki-laki di sampingnya ini memang selalu bertingkah tengil dan menyebalkan, tapi kali ini rasanya berbeda.
“Sekitar enam bulan lalu, pas ulang tahun Ella. Gue yang KKN di Bandung bela-belain balik Jakarta demi nemuin dia, tapi yang gue temuin malah dia lagi pelukan sama temen gue di depan apartnya.”
“I feel you, pasti sakit banget rasanya.”
“Udah ga sakit lagi, tapi sakit banget, tega-teganya dua orang yang gue percaya malah nusuk gue dari belakang.”
“Ga cuma hubungan gue sama dia yang hancur, pertemanan gue pun juga hancur,” lanjut Nathan dengan nada yang melemah di akhir.
Kale menatapnya dengan hangat, bahkan senyum tipis juga tersemat di bibirnya. Ia baru menyadari laki-laki yang sering mengganggunya ini juga bisa selembut dan serapuh ini.
“Gapapa, masih bagus lo tau keburukan Ella sebelum lanjut ke jenjang yang lebih serius.” Kale juga menepuk-nepuk punggung Nathan.
“Malah harusnya lo terimakasih sama temen lo yang udah buka keburukannya Ella.”
Tanpa sadar melalui kalimat sederhana Kale mampu sedikit mengubah pandangan Nathan. Selama ini ia hanya menghakimi tanpa mau mengerti sisi baik yang datang bersama tragedi.
“Udah lah masih pagi, jangan sedih-sedih muka lo ga cocok anjir.”
Melainkan marah ataupun kesal karena dikatai, Nathan malah tersenyum lebar hingga menampakkan sepasang lesung pipinya.
Ya ini lah Kale, dengan segala hal yang membuatnya istimewa, pikir Nathan.