Thantophobia


Selain rasa panik sudah menguasainya, juga ada rasa bersalah yang mengintai Kale saat ini. Jika saja kemarin malam ia tidak menarik garis batas, Nathan tak akan seperti ini sekarang.

“Than, Nathan!”

Saat Kale telah berhasil membuka pintu apartemen Nathan yang dirinya temukan hanyalah gelap. Kale menjelajahi semua sudut, tapi tetap saja tidak ada tanda-tanda keberadaan si penghuni apartemen.

Hingga hanya ada satu pintu yang sama sekali belum dibukanya, Kale segera membuka pintu itu dan menemukan tubuh Nathan yang terlelap pulas di atas ranjang.

“Shit, gue panik nyariin, malah lo nya enak-enakan mimpi.”

Langkah cepat membawa Kale ke sisi ranjang. Ia menarik paksa selimut tebal yang dikenakan Nathan.

“Than?” Tegur Kale setelah tak mendapatkan respon.

Dengan cepat tangan Kale menyentuh kening Nathan, dan langsung menyadari bahwa suhu badan laki-laki itu begitu panas.

“Nathan? lo kenapa?”

“Kale?” gumam Nathan pelan. Seperti sudah begitu hapal dengan suara perempuan satu ini.

Nathan berusaha membuka matanya yang terasa sangat berat, menemukan tatapan cemas Kale yang menatapnya.

“Nathan, jawab gue.” Tegur Kale lagi.

“Ini lo beneran, Kal?”

“Iya, ini beneran gue.”

“Gue kira tadi cuma mimpi.”

Seutas senyum perlahan mengembang di bibir tipis Nathan. Tapi kini ia tidak lagi menahan matanya yang berat, ia menutup matanya lagi.

“Lo kok bisa ada di sini?” Lanjutnya dengan nada yang begitu lemah.

“Itu ga penting, Than. Yang penting kita ke rumah sakit sekarang.”

“Ngapain?”

“Ngapain? Lo tanya ngapain? Badan lo panas banget, Nathan.”

Suara Kale terdengar sangat panik sekarang, bahkan sudah berkali-kali ia menyentuh kening Nathan yang tetap terasa begitu panas.

Nathan meraih tangan Kale yang sedari tadi menyetuh keningnya, menarik perempuan itu pelan menjadikannya duduk di tepian ranjang, dan Kale menatapnya dengan tatapan bingung bercampur cemas.

“Lo beneran Kale bukan sih? Tangan lo dingin banget. Apa lo setan?”

“Jangan bercanda dulu, Than. Kita ke rumah sakit sekarang,” ajak Kale dengan suara pelan.

“Apa malah lo princess elsa? Gue gabakal beku kan kalo megang lo, Kal?”

“Than, dengerin gue.”

“Tangan lo kecil, Kal. Cocok banget kayaknya gue gandeng.”

“Nathan, gue mohon dengerin gue.” Kale meninggikan nadanya dengan suaranya yang bergetar.

Detik setelahnya Nathan tersadar suara Kale kini sudah berubah menjadi begitu cemas, bahkan ia pun terkejut mendengar perempuan itu terisak pelan.

Nathan dengan segera mendudukkan dirinya. Dan ketika ia membuka mata beratnya kembali, ia mendapati pipi Kale yang sudah dibasahi oleh air matanya sendiri.

“Hey... jangan nangis dong.” Tangan Nathan perlahan mengusap air mata di pipi Kale, membuat perempuan yang kini duduk dihadapannya kembali menatap matanya. “Gue gapapa.”

Kale dengan cepat menggeleng, “Lo sakit, Nathan. Kita harus cepetan ke rumah sakit.”

“Gue cuma demam, Kal. Tadi gue juga udah panggil dokter, mungkin bentar lagi bakal dateng,” jelas Nathan dengan suara paraunya.

Kale membuang nafasnya berat, ia merasa sedikit lega tetapi juga kesal. Perlahan tangannya mulai bergerak memukul-mukul dada bidang Nathan.

“Kenapa sih lo bebal banget, Than? Kan tadi malem gue udah bilang jangan pulang hujan-hujanan, sekarang jadi gini kan.”

“Sorry...”

Nathan menggenggam tangan Kale. Bukannya merintih kesakitan, ia malah tersenyum lebar dengan memperlihatkan sepasang lesung di pipinya.

Karena baginya mengetahui perempuan dingin yang menolak perasaannya kemarin malam bisa sekhawatir ini padanya adalah hal yang begitu luar biasa.

Gue ga yakin kalo cuma gue yang nyaman, ucap Nathan dalam benaknya.