Cotton Candy and Dinosaur
Langit membiru cerah membentang luas ditemani matahari yang sinarnya belum terasa panas. Semburat jingganya menyinari wajah dua insan semesta yang tengah duduk bersebelahan di sebuah kursi kayu di pinggir taman.
Tak banyak yang dilakukan Nathan dan Kale, hanya menghabiskan satu bungkus cotton candy di tangan masing-masing sambil mengawasi Biyu yang sedang bermain tidak jauh dari mereka.
“Dapet ide darimana sih lo bisa beli cotton candy segal—”
“Ada yang nempel di pipi tuh,” potong Nathan seketika memajukan tanganya kanannya, mengambil remahan cotton candy yang menempel di pipi Kale.
“Bilang dong, udah kayak anak kecil aja gue dilapin.”
“Kan emang lo anak kecil—”
“Gausah mulai,” sambar Kale yang langsung memotong kalimat Nathan.
Nathan tertawa pelan memperlihatkan sepasang lesung di kanan dan kiri pipinya, tapi Kale yang ditertawai hanya memilih diam, melanjutkan makannya dengan perlahan. Namun, tatapan matanya tidak bisa beralih dari plester luka lusuh di punggung tangan Nathan.
“Gue suka aja sama cotton candy, makanya gue beli.”
“Emang cotton candy enak?”
“Enggak,” Nathan menggeleng. “Gue gatau letak enaknya dimana, tapi anehnya gue sering berharap aja rasa manisnya bisa buat hidup gue ikutan manis.”
“Aneh lo, yang ada malah diabetes tolol.”
“Kan gue cuma berharap, emang salah?”
Kini giliran Kale yang menggeleng. Memang benar tidak ada salahnya berharap, walau pada hal mustahil sekali pun.
“Lo pasti juga pernah berharap kan?” tanya Nathan tiba-tiba.
“Pernah lah, sering malah,” Kale tersenyum kecut. “Sampe capek dipatahin terus sama kenyataan.”
“Jadi sekarang gue milih jalani hidup tanpa berharap dan mensyukuri apa yang udah terjadi,” lanjutnya.
“Berarti lo juga bersyukur ketemu gue dong?”
“Iya.”
“Terus kenapa confess gue kemarin lo tolak gitu aja?”
Kale tak langsung menjawab, ia tertegun sejenak. Senyumnya yang kecut tadi memudar perlahan.
“Biyu, hati-hati nanti jatuh!” Kale mengalihkan pembicaraan.
Seperti biasanya, perempuan ini selalu lari tiap kali Nathan ingin tau alasan atas penolakannya tempo hari. Nathan pun memilih untuk beranjak dari duduknya, dan berniat untuk pergi lagi.
“Gua ke sana bentar ya,” bisik Nathan tepat di telinga Kale.
“Mau ngapain?”
“Mulut gue pait, mau nyebat.”
Dengan segera Kale meraih pergelangan tangan Nathan sebelum laki-laki itu benar-benar pergi, hal itu sukses membuat Nathan menoleh cepat ke arahnya.
“Kenapa?”
“Di sini aja, jangan kemana-mana,” pinta Kale dengan dingin dan tegas.
“Gila lo? Masak gue ngerokok di depan Biyu?”
“Yaudah makan cotton candy aja gausah ngerokok.”
Perintah Kale bagaikan sihir, Nathan tanpa ragu langsung menurutinya. Ia urung pergi dan memilih duduk kembali di samping Kale yang sedang mencari sesuatu di dalam sling bag nya.
“Udah, mau sampai kapan tangan gue lo pegangin?”
“Bentar.”
“Kalo mau gue gandeng bilang aja kali.” Nathan perlahan melepaskan genggaman tangan Kale, menggantinya dengan ia yang menggenggam tangan Kale.
Setelah selesai berkutat dengan benda-benda di dalam sling bag nya, tanpa kata Kale langsung melepas genggaman Nathan, membuat laki-laki itu kebingungan.
Tangan Kale juga beralih meraih pelan tangan kiri Nathan, membuat dirinya semakin bingung bukan main.
“Gue ga mau digandeng sama tangan yang plester lukanya kotor,” kata Kale.
Nathan memang tidak mengganti plester lukanya sejak setelah diinfus beberapa hari yang lalu, membiarkannya tetap menempel walau sudah begitu lusuh. Dan kini akhirnya Kale membuka plester luka itu, menampakkan luka yang masih memerah bekas infus.
“Plester luka tu harusnya diganti tiap hari biar ga infeksi,” ucap Kale yang masih sibuk dengan plester luka di punggung tangan Nathan.
“Biar bisa gandeng tangan lo juga kan?”
Kale memang tidak seperti perempuan lainnya yang akan langsung merona merah pipinya saat dilontari pertanyaan tengil Nathan. Dirinya malah menekan luka itu pelan membuat laki-laki di sampingnya meringis kesakitan.
“A-aduh, sakit tau Kal.”
Setelah selesai mengganti plester luka Nathan dengan yang baru bermotif dinosaurus. “Kenapa sih lo ga ganti plesternya sampe buluk gitu? ga takut infeksi apa?”
“Lo juga kenapa perhatian banget sama gue? Katanya gue ga boleh nyaman sama lo?”
”...”
Pertanyaan Nathan kali ini membuat Kale terdiam. Belakangan ini Kale juga tidak mengerti dengan perilakunya sendiri pada Nathan. Mungkin kah benar kata Aya, rasa nyaman mulai tumbuh di dalam dirinya.
Sejujurnya Kale juga tidak menemukan alasan untuk tidak merasa nyaman dengan laki-laki yang mau menemaninya makan dipinggir jalan, rela kepanasan karena menurutinya naik motor, bahkan mempedulikan bunda dan adiknya juga.
“Udah gausah dipikirin, gue cuma bercanda.” Nathan memperhatikan plester luka yang kini telah menempel di punggung tangannya.
“Plester luka di apart gue habis, jadinya ini ga gue ganti deh,” lanjutnya.
“Yaudah nanti gue beliin.”
“Yang motifnya dinosaurus kayak gini ya.”
“Iyaa.”
Sudut bibir Kale terangkat melihat kelakuan laki-laki di sampinya. Selain aneh orang ini juga kekanakan, pikirnya.
Memang dunia selalu punya caranya sendiri untuk membuat manusianya menyerah pada rasa.
Berhentilah keras kepala dengan menahannya, Kale.