Saling Berbagi Tawa


Kale bukan seperti perempuan lain yang membutuhkan waktu lama untuk mempercantik diri. Selang beberapa menit setelah obrolan di pesan singkat usai, Kale dengan skinny jeans, sweater abu-abu, dan rambut panjang tergerai muncul di ambang pintu pagar rumahnya.

Kale lantas menghampiri laki-laki bercelana pendek yang tengah menduduki motor kawasaki ala dilan. Ya, laki-laki itu Nathan dengan netra terpatri pada ponsel yang berada di genggamannya.

“Ayo berangkat,” seru Kale dengan menepuk pundak Nathan pelan.

“Lah? kapan lo disitu?”

“Dari jaman Jepang.”

“Lah? Tua dong.”

“Mampus, lo jalan sama nenek-nenek,” ucap ketus Kale dengan bergegas naik ke atas motor yang sudah siap melaju. Dan perjalanannya bersama Nathan pun dimulai.

Udara malam terasa lumayan sejuk. Semua suara terbungkam oleh knalpot bising motor Nathan. Gemerlap lampu kota menemani motor kawasaki itu melaju melewati gang-gang sempit sesuai perintah Kale.

Tak lama kemudian keduanya tiba di sebuah tenda sederhana penjual nasi goreng. Tempatnya tepat di belakang Mall yang paling mewah di kota ini.

“Kal, tempatnya emang kayak gini?” tanya Nathan setengah berbisik.

“Ya emang gini.”

Nathan mulai bingung ketika melihat tempatnya lebih sederhana dari yang ia bayangkan. Pasalnya tempat itu hanya beratap tenda beralaskan tikar, tak ada meja maupun kursi.

“Ini ga ada meja kursinya, Kal?”

“Ga ada, ini lesehan.”

“Ini kalo hujan gimana?”

“Langitnya cerah, kayaknya ga bakal hujan deh.”

“Kal...”

“Hihh diem lo! Nanya mulu.” Kale memberikan sepiring nasi goreng yang telah diantarkan oleh penjual. “Sekarang makan, gausah banyak omong.”

Tawa pelan Nathan keluar begitu saja melihat Kale kesal. “Hahaha, galak banget, Kal.”

Setelah makan sampai kenyang, Kale memuaskan dirinya dengan memakan sisa es batu dari es jeruknya. Tanpa sengaja matanya melirik Nathan yang ternyata memperhatikan sosoknya dari samping.

“Ga usah dilihatin, kalo mau es batu bilang, nih.” Kale menyerahkan sebuah es batu di atas sendok kepada Nathan.

“Enggak es batu yang gue lihat.” Nathan mengembalikan es batu itu ke gelas Kale. “Tapi lo—”

“Gausah mulai,” sambar Kale yang langsung memotong kalimat Nathan.

Nathan tertawa pelan memperlihatkan lesung di kanan dan kiri pipinya, tapi Kale yang ditertawai hanya memilih diam dengan memasang muka malas.

“Maksudnya gue biasanya makan di depan sono.” Nathan dengan menunjuk mall di depan mereka menggunakan dagu. “Bisa-bisanya lo malah ngajak gue makan di sini.”

“Tapi nasi gorengnya enak kan?”

Nathan mengangguk, “ya enak.”

“Yaudah gausah protes lagi,” ucap Kale yang sibuk dengan isi sling bag -nya. “Bentar, gue bayar dulu.”

Kale beranjak dari duduknya dan pergi menghampiri penjual nasi goreng untuk membayar pesanan mereka. Tak lama kemudian Nathan menyusulnya.

“Gue keluar bentar ya,” bisik Nathan tepat di telinga Kale.

“Kemana?”

“Nyebat.”

Setelah selesai berurusan dengan bayar-membayar, Kale mengikuti Nathan dari belakang layaknya anak itik yang mengikuti induknya.

Keduanya berhenti saat langkah kaki telah membawa mereka tiba di jembatan yang membentang di atas rel kereta api. Dengan Nathan mulai membakar sebatang rokok yang telah ia selipkan di mulutnya.

“Kasih gue satu batang dong,” pinta Kale dengan menadahkan tangan di hadapan Nathan.

“Hah?”

“Gue minta rokoknya satu.”

Nathan sempat bingung, tapi akhirnya memberikan satu batang rokok ke tangan Kale. Terserah mau diapain, pikirnya.

Ternyata Kale mengikuti Nathan, ia membakar satu batang rokok yang terselip di antara dua jarinya. Kale juga mulai menghisap dan menghembuskan asap dari sebatang rokok itu.

Nathan terus memperhatikan sosok Kale dari samping. Dirinya sempat dibuat tertegun saat mengetahui perempuan yang bersamanya ini seorang perokok.

“Bunda tau kalo lo ngerokok?”

“Enggak,” Kale malah menempelkan jari telunjuk ke bibirnya. “Jangan kasih tau.”

“Bakal gue aduin.”

“Kalo ngadu bakal gue bakar lo kayak nih rokok.”

“Serem anjir.” Nathan bergidik ngeri.

Ada sunyi sejenak di sana. Sejujurnya Kale tidak pernah merokok di depan orang lain seperti sekarang ini. Biasanya ia selalu bersembunyi dan menikmati batang penuh nikotin itu sendirian. Tapi berbeda dengan malam ini, ia merokok bersama seseorang yang belum lama ini dikenalnya, Nathan.

“Nama lo Sky, pasti emak lo suka langit?” tanya Kale tiba-tiba, karena melihat langit berbintang di atasnya.

“Enggak,” Nathan menggeleng pelan. “Mama gue sukanya laut.”

“Kok?”

“Tapi kalo lo lihat laut, pasti lo bakal lihat langit juga di atasnya kan?”

Kale menganggukan pelan kepalanya sebagai tanda paham atas penjelasan Nathan.

“Kalo lo? Kenapa nama lo bentala? Bunda suka bumi?”

“Enggak suka juga sih, tapi itu harapannya bunda.”

“Harapan? Apa yang bunda harapin sama bumi?” Nathan mengerutkan dahinya heran.

“Biar gue jadi orang yang selalu membumi lah, ga songong kayak lo.”

“Dih, gue—”

Kalimat Nathan terputus saat menyadari ada kereta lewat dengan suara jauh lebih keras darinya. Ia pun membuang nafasnya berat saat netranya menangkap seberapa panjang kereta yang melintas di bawah sana.

Kini giliran tawa Kale yang perlahan keluar, baginya melihat reaksi Nathan pada kereta itu sangatlah lucu. Sedangkan yang di tertawai hanya diam memasang raut datar.

Mungkin memang dunia sengaja mempertemukan keduanya untuk saling berbagi tawa.