Thantophobia
Selain rasa panik sudah menguasainya, juga ada rasa bersalah yang mengintai Zoey saat ini. Jika saja malam tadi ia tidak menarik garis batas, Asha tak akan seperti ini sekarang.
“Sha, Asha!”
Saat Zoey telah berhasil membuka pintu rumah Asha yang dirinya temukan hanyalah gelap dan berantakan. Zoey menjelajahi semua sudut, tapi tetap saja tidak ada tanda-tanda keberadaan penghuni rumah.
Hingga hanya ada satu pintu yang sama sekali belum dibukanya, Zoey segera membuka pintu itu dan menemukan tubuh Asha yang terlelap pulas di atas ranjang.
“Shit, gue panik nyariin, malah lo nya enak-enakan mimpi.”
Langkah cepat membawa Zoey ke sisi ranjang. Ia menarik paksa selimut tebal yang dikenakan Asha.
“Sha?” Tegur Zoey setelah tak mendapatkan respon.
Tangan Zoey dengan cepat menyentuh kening Asha, menyadari bahwa suhu badan laki-laki itu begitu panas.
“Asha? lo kenapa?”
“Zoey,” gumam Asha pelan. Seperti sudah begitu hapal dengan suara perempuan satu ini.
Asha berusaha membuka matanya yang terasa sangat berat, menemukan tatapan cemas Zoey yang menatapnya.
“Asha, jawab gue.” Tegur Zoey lagi.
“Ini lo beneran, Zoey?”
“Iya, ini gue.”
“Gue kira tadi cuma mimpi.”
Seutas senyum perlahan mengembang di bibir tipis Asha memperlihatkan sepasang lesung di pipinya. Tapi kini ia tidak lagi ia menahan matanya yang berat, ia menutup matanya lagi.
“Lo kok bisa ada di sini?” Lanjutnya dengan nada yang begitu lemah.
“Itu ga penting, Sha. Yang penting kita ke rumah sakit sekarang.”
“Ngapain?”
“Ngapain? Lo tanya ngapain? Badan lo panas banget, Asha.”
Suara Zoey terdengar sangat panik sekarang, bahkan sudah berkali-kali ia menyentuh kening Asha yang tetap terasa begitu panas.
Asha meraih tangan Zoey yang sedari tadi menyetuh keningnya, menarik perempuan itu pelan menjadikannya duduk di tepian ranjang, dan Zoey menatapnya dengan tatapan bingung bercampur cemas.
“Lo beneran Zoey bukan sih? Tangan lo dingin banget. Apa lo setan?”
“Jangan bercanda dulu, Sha. Kita ke rumah sakit sekarang,” ajak Zoey dengan suara pelan.
“Apa malah lo princess elsa? Tapi ini gue gabakal beku kan megang lo, Zoey?”
“Sha, dengerin gue—”
“Tangan lo kecil, Zoey. Cocok banget kayaknya gue gandeng.”
“Adyrasha, gue mohon dengerin gue.” Zoey meninggikan nadaanya dengan suaranya yang bergetar.
Detik setelahnya Asha tersadar suara Zoey kini sudah berubah menjadi begitu cemas, bahkan ia pun terkejut mendengar Zoey terisak pelan, tapi tidak banyak yang bisa ia lakukan, ia hanya menjawabnya dengan anggukan lemas.
Tak ingin membuang waktu dengan cuma-cuma, Zoey dengan segera memapah daksa yang lebih besar darinya itu masuk mobil, dan membawanya ke rumah sakit.
Tepat saat mereka tiba, badan Asha langsung diambil alih oleh perawat untuk ditangani di UGD.
Kini terduduk cemas Zoey di kursi tunggu depan ruang UGD. Kepalanya menunduk, badannya membungkuk, kedua tangannya pun berada di pelipis. Rambutnya yang hitam lurus tergerai kacau menutupi wajahnya, matanya merah, dan air mata mengalir dari sana.
Dihantui rasa takut akan kehilangan seseorang lagi di rumah sakit dan juga rasa bingung pada dirinya sendiri. Bagaimana bisa Zoey secemas ini hanya karena Adyrasha, orang yang belum lama ini dikenalnya.
Melihat Zoey yang seperti itu membuat seseorang yang mengenalnya ingin menghampirinya untuk memberinya semangat atau sekedar bertukar senyum. Dengan langkah pelan orang yang memakai jas putih itu mendekat.
“Zoe—”
Sayangnya ia kalah cepat dengan Bujang Bengkel Mesin yang telah menghampiri Zoey lebih dulu.