Januarain
“Pengang tangan gue aja sini biar ga ilang.”
Nathan menawarkan tangan kanannya ke hadapan Kale. Ia tau perempuan yang bersamanya ini baru pertama kalinya datang ke festival, jadi sesuai dengan janjinya Nathan akan berusaha memberikan Kale kenangan indah bersamanya.
Yang ditawari hanya membalasnya dengan tatapan dingin. “Gausah, makasih.”
Kale lebih memilih memegang erat ujung jacket hitam yang dikenakan Nathan daripada tangannya.
“Lucu,” ucap Nathan pelan dengan sudut bibir terangkat melihat kelakuan Kale sekarang ini.
“Apa? Lo bilang apa? Gue lucu?”
“Enggak,” Jawab Nathan dingin, berlagak tidak melakukannya. “Gue bilang lo orang aneh, dikasih tangan malah milih jaket.”
“Iyalah, soalnya tangan lo bau,” jawab Kale dengan diiringi tawa.
Sejujurnya tanpa diberi tangan ataupun ujung jaket, Kale telah merasa aman dan nyaman hanya dengan berada di dekat Nathan. Walau pun sedikit merasa asing dengan keramaian, ia tetap mampu menikmati pentas musik yang ada di atas panggung Teufest dengan baik.
“Nathan?”
Nathan segera berbalik ketika mendengar namanya disebut, dirinya tertegun sejenak melihat orang yang memanggilnya. Sosok laki-laki paruh baya yang dikawal dua pria gagah tengah berdiri di belakangnya, Papa nya.
“Sama siapa? Pacar kamu?” Papanya Nathan sudah sangat penasaran dengan perempuan yang berada tepat di samping anaknya.
“Ah? iya Pah, namanya Kale. Kal, ini Papah gue,” balas Nathan mengenalkan keduanya secara singkat.
“Oh ternyata Kaleya? Apa kabar? Udah lama ya tidak berjumpa.”
“Malam Pak,” sapa Kale dengan senyum yang perlahan mengembang.
“Hey, Kamu kan pacarnya Nathan. Kalo pas ketemu Saya bukan di acara beasiswa, panggil Papah aja, Kaleya.”
“Iya, Pah.”
“Nathan, ajak Kaleya makan malam bareng keluarga kapan-kapan ya. Papah mau pulang, have fun di festival ini ya.” Pak Joko Sudirga langsung melenggang pergi sebelum keduanya membalas.
Nathan terheran dengan dua orang yang bersamanya tadi, ternyata keduanya sudah saling mengenal sebelum ia kenalkan.
“Kok Papah gue bisa kenal lo?”
“Ya bisa lah, kan gue salah satu anak beasiswa, jadinya gue dulu sering ketemu Papah lo.”
Nathan mengangguk paham. Dan selanjutnya tak ada obrolan di antara keduanya, mereka hanya asik menonton pertunjukan di atas panggung.
“Pulang yuk, Than,” bisik Kale tepat di telinga Nathan.
“Sekarang?”
Kale hanya mengangguk. Ia juga mulai merapikan jaketnya, mengajak Nathan untuk segera meninggalkan kerumunan.
Namun belum sempat melangkah, pergelangan tangan Kale diraih pelan oleh Nathan, membuat dirinya dengan reflek menoleh, dan detik selanjutnya mata Kale bertemu dengan tatapan Nathan.
“Kenapa?”
“Nanggung udah sampe sini masa ga nonton Ardhito.”
“Kalo nungguin Ardhito bakal pulang tengah malem jadiny—”
Kale menghentikan ucapannya karena orang-orang di sana mulai berteriakan. Meneriakkan nama guest star yang kini mulai naik ke atas panggung, Ardhito Pramono.
Tak lama setelahnya lantunan musik membawa sang penyanyi menyanyikan lagunya yang berjudul Teman Perjalanan.
“Yaudah satu lagu aja ya.”
“Kal?” deham Nathan pelan.
“Hm?”
Nathan menundukkan kepalanya perlahan, berusaha mendapati tatapan perempuan yang saat ini berdiri di depannya.
Ku pejamkan mata Terlihat kamu disana Seorang pembawa cerita Aku bukan pejabat Atau orang yang hebat Ku hanya ingin dicinta
Di bawah langit malam ditemani suara Ardhito yang membawakan sebuah lagu romansa, Nathan memantapkan hatinya mengatakan apa yang ia pendam.
“Anu... gue mau confess.” Nathan menggaruk tengkuknya dengan kikuk. “Sebenernya... gue nyaman setiap bareng lo, Kal.”
Sejujurnya Nathan tidak berharap banyak, terserah kalimatnya barusan akan ditanggapi atau dibiarkan melayang-layang di udara tanpa arti, kalau pun bisa dilupakan saja.
Kale membalas menatap lurus mata laki-laki di depannya, tanpa diduga malah perlahan tawanya keluar. “Lo yang bilang jangan baper, tapi kenapa lo sendiri yang nyaman sama gue?”
*“Tapi jangan, Than.” Kale melepas perlahan genggaman tangan Nathan. “Jangan berharap banyak sama gue.”
Nathan tertegun sejenak, badannya menegang seketika, confess-nya ditolak mentah-mentah tepat di bait terakhir lagu yang dibawakan Ardhito.
Karena dalam kisah asmara Tak semua harus bahagia
Sempat ada hening beberapa detik di antara keduanya, hingga jutaan air hujan mulai turun ke bumi secara perlahan.
“Than, hujan!” Kale memutar tubuhnya dan mulai melangkah meninggalkan tengah keramaian.
Namun, ia dibuat kembali lagi karena sadar Nathan masih mematung tak bergerak sedari tadi.
“Heh, ayo!”
Kini giliran Kale menggengam pergelangan Nathan, menariknya untuk segera menepi mencari tempat untuk berteduh.
Setidaknya walau pun confess-nya malam ini ditolak, tapi Nathan telah memenuhi janjinya, memberikan sebuah kenangan tentang festival pada Kale.