Stars and Butterflies


Tak terasa sudah satu jam lamanya Asha dan Zoey menghabiskan waktu di dalam mobil, bahkan sudah puluhan kilometer mobil itu melaju di atas aspal hitam. Sebenarnya Zoey pun tidak paham seberapa jauh Asha akan membawanya pergi.

“Sabar ya Zoey bentar lagi sampe,” celetuk Asha menyadarkan Zoey dari lamunannya menatap ke luar jendela.

Zoey mengalihkan tatapan dinginnya memperhatikan Asha yang sibuk menyetir. “Harusnya tadi gausah mampir photobox biar cepet nyampenya.”

Asha hanya terkekeh pelan mendengarkan omelan Zoey, ia membawa tangannya ke puncak kepala perempuan di sampingnya, dan mengacak pelan rambutnya. “Iyaa maaf.”

“Asha, jangan acak-acak rambut gue!”

“Loh, kok gaboleh?”

“Emang gaboleh.”

“Padahal kan lo sering buat gue acak-acakan, kenapa gue gaboleh buat lo acak-acakan?”

“Dih orang gue biasa aja, lo nya udah acak-acakan sendiri.” Zoey tertawa pelan setelah berhasil mengejek Asha.

Mampu tertawa karena hal-hal sederhana membuat Zoey tersadar sudah sejauh ini dirinya merasa nyaman di sekitar Asha. Dan mungkin perkataan teman-temannya tempo hari ada benarnya, bahwa ia harus membiarkan dirinya sendiri merasakan bahagia.

Tak lama kemudian Zoey mulai meluruskan punggungnya, terlihat begitu bersemangat saat langit penuh ribuan bintang ditangkap oleh netranya.

“Bintang!” Pekik Zoey tertahan. “Eh ini udah sampe?”

Asha hanya mengangguk sembari tersenyum melihat betapa semangatnya perempuan itu. Dengan segera ia menghentikan laju mobil dan keduanya telah sampai di sebuah tempat tinggi di pinggir kota.

“Zoey, mau lihat dari luar ga?”

“Hah?”

“Yuk.”

Tanpa menunggu persetujuan dari Zoey, Asha sudah lebih dulu membuka pintu mobil, membiarkan dirinya di rangkul oleh gelapnya malam. Kakinya berlari-lari kecil membawa daksanya ke depan mobil, tangannya pun melambai pelan meminta Zoey untuk ikut dengannya.

Zoey tersenyum melihat ekspresi Asha nampak seperti anak kecil yang mengajak mamanya pergi, begitu menggemaskan menurutnya. Tapi hal itu juga membuatnya merenung, seketika teringat dengan Noey, adiknya yang sudah berada di pelukan Sang Pencipta.

Menyadari Zoey merenung, dengan segera Asha berjalan ke arahnya, membuka pintu penumpang tempatnya duduk, lalu mengajak perempuan ini keluar. “Heh ayo, kok malah diem aja?”

“Gue... keinget Noey, Sha...” jawab Zoey dengan nada yang sendu.

Asha meraih pelan tangan Zoey, membawa perempuan ini bergabung dengan dirinya yang dipayungi ribuan bintang. “Coba deh lihat ke atas.”

Zoey mulai menengadahkan kepalanya, maniknya berbinar menatap bintang-bintang yang menghiasi langit gelap di atas sana.

“Langitnya terlalu cantik buat didiemin aja, Zoey.” Asha tersenyum melihat perempuan yang kini berdiri di hadapannya. “Walau masih cantikan lo sih.”

Sorot mata Zoey langsung terarah pada laki-laki yang baru saja menggodanya, perlahan sebuah senyum mengembang di bibir tipisnya.

Asha perlahan menyelipkan jemarinya ke jemari Zoey, kemudian ia mengajak perempuan itu untuk duduk di atas kap mobil.

“Bener kata lo, langitnya cantik banget,” ucap Zoey, membuat Asha mengangguk pelan.

Sedari tadi pandangan Asha tidak dapat lepas dari Zoey, ia sangat betah memandang perempuan yang satu ini dari samping, bahkan ia pun tidak peduli kalau setelah ini pipinya akan sakit karena terus tersenyum.

“Kalau mau nyender, nyender aja di pundak gue gapapa,” dengan nada bercanda Asha berusaha menggoda Zoey yang duduk di sampingnya.

Tanpa perlu kata, candaan Asha langsung diiyakan. Zoey dengan segera merebahkan kepalanya di pundak Asha. Dan seketika tercium harum musk dari laki-laki ini yang ia suka, membuatnya tersadar bahwa sekarang ia berada sangat dekat dengan tubuh Asha. Sebenarnya Zoey merasa begitu asing, karena ini pertama kalinya ia bersikap seperti ini dengan seorang laki-laki.

“Gini bentar ya, Sha,” gumam Zoey pelan.

Asha sempat mematung sejenak, kaget dengan Zoey yang mau memakai pundaknya untuk bersandar.

Selanjutnya keduanya hanya diam, memandang bintang-bintang yang bertaburan di angkasa, namun anehnya tak ada rasa canggung di sana, walau mereka hanya dapat mendengar suara napas satu sama lain. Ini menenangkan, pikir Asha.

Mungkin kata doyi benar, Asha telah terkena sihir Zoey hingga segala tentang perempuan itu selalu bisa membuatnya tenang. Bahkan Asha bisa menjadi sosok pemerhati paling andal ketika ada Zoey di sekitarnya, padahal sudah bukan rahasia lagi kalau ia sebenarnya orang cuek pada sekitar.

“Zoey?” deham Asha pelan.

“Hm.”

Asha menolehkan kepalanya perlahan, mencari tatapan perempuan yang saat ini bersandar di pundaknya.

Zoey mengerutkan dahinya bingung, tatapannya lurus ke mata Asha. Dan dengan ekspresi yang sulit dipahami, Asha hanya diam dan menatapnya lekat-lekat.

Belum sempat Zoey memprotes Asha yang dirasa begitu dekat dengannya, bersamaan dengan harum musk yang lagi-lagi terhirup oleh hidungnya, laki-laki ini sudah terlebih dahulu menghapus jarak di antara keduanya.

Asha menarik kedua pipi Zoey secara lembut, dengan memejamkan kedua bola mata, secara perlahan mempertemukan bibirnya dengan bibir merah perempuan itu.

Saat ini untuk pertama kalinya Zoey paham mengenai ratusan kupu-kupu yang berterbangan di dalam perut. Tentang sensasi rasa menggelitik yang menyenangkan. Dan Ia hanya bisa menutup matanya, membiarkan Asha mengangkat dagunya.

Sejujurnya Zoey bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi, dirinya pun semakin dibuat bingung saat mencoba memproses semuanya, Namun ia tetap membalas dan membiarkan tangannya melingkar di leher Asha.

Ciuman mereka terasa begitu pelan dan tidak menuntut, membuat Zoey menikmati tiap-tiap lumatan yang Asha berikan.

Ketika sebuah notifikasi telpon masuk ke ponsel Asha, saat itu juga Asha tersadar dan dengan perlahan melepas tautan di antara mereka. Keduanya kembali terdiam seraya mendengarkan deru napas satu sama lain.

“Bentar Zoey,” bisik pelan Asha, ia mengecek siapa penelepon yang mengganggu waktunya bersama Zoey. “Gue angkat telpon abang gue dulu.”

Asha beranjak dari duduknya dan menarik dirinya sedikit menjauh untuk mengangkat telpon tersebut.

Zoey akui hal yang baru saja terjadi membuat dirinya merasa bahagia, tetapi seperti ada hal lain di dalam dirinya yang menentangnya. Ia pun bingung harus mengikuti logika atau hatinya.

“Pulang yuk, Sha. Kepala gue pusing,” ucap Zoey saat Asha kembali setelah selesai berbicara dengan ditelponnya.

“Sekarang?”

“Iya.”

Asha menurutinya, dengan segera ia menggendong Zoey turun dari kap mobil. “Oke ayo, udah mau tengah malem juga.”

Malam ini memang begitu cantik, bahkan ratusan bintang dan kupu-kupu pun ikut bereksistensi menjadi saksi kisah keduanya.