HK But Not Hong Kong
Dengan langkah lebar dan sedikit berlari Asha menuju kamar tempat Zoey dirawat. Tampak jelas kekhawatiran tergambar di raut wajahnya, bahkan orang-orang yang memandangnya pun tahu kalau laki-laki ini sedang dirundung kegelisahan yang luar biasa.
Asha berhenti tepat setelah membuka pintu Ruang Cempaka Nomor 87. Hatinya terasa begitu sesak saat memperhatikan perempuan yang memintanya menjauh kini sedang terbaring lemas di atas ranjang rumah sakit.
Kehadirannya di ruangan tersebut tentu mengundang kaget seluruh orang di dalamnya. Terutama Zoey yang memasang wajah seolah bertanya-tanya bagaimana bisa Asha datang kesini.
“Asha?” Seru Zoey saat melihat Asha mulai berjalan pelan ke arahnya.
“Hai, Zoey,” jawab Asha memaksakan untuk tetap tersenyum.
Melihat keduanya membuat keluarga dan teman-teman Zoey yang ada di sana mengerti dengan keadaan, mereka memilih menarik diri keluar demi memberikan ruang untuk keduanya dapat berbicara.
Asha mendudukan dirinya di kursi yang berada tepat di samping ranjang Zoey. Matanya menatap lekat manik perempuan di hadapannya ini, mencari-cari tatapan dingin yang sering menatapnya, tapi tatapan itu kini telah menjadi tatapan yang begitu sendu.
Pakaian lengan pendek khas rumah sakit, infus yang menancap di punggung tangan kiri, dan kabel-kabel yang menempel pada badan Zoey membuat hati Asha terasa sesak kembali.
“Kurus banget sih lo, Zoey. Apa selama gue pulang ke rumah lo ga makan? Segalau itu ya lo jauh dari gue? Padahal kan gue jauh di mata tapi dekat di hati lo.” Asha mulai membuka kata.
“Dih pede banget, yang jauh di mata tapi dekat di hati itu lambung bukan lo,” balas Zoey dengan nada yang biasanya ia gunakan.
Asha menyimpulkan senyum. Rasanya begitu lega karena bisa mendengar suara dengan nada yang selama ini ia rindukan, walau dengan keadaan yang tidak pernah ia bayangkan.
“Gue bodoh ya, Zoey.”
“Hah?”
“Gue dengan bodohnya ngira Andrea itu gebetan lo, padahal dia dokter lo. Waktu lo bilang di HK, malah gue kira lo lagi di Hongkong. Gue dengan sombong bilang gampang dapetin semua tentang lo, tapi ternyata keadaan lo aja gue gatau.”
“Gue juga terlalu bodoh sampai ga paham kalo lo bukan lagi menjauh dari gue, tapi lo lagi melindungi gue dan perasaan gue. Lo ga mau gue sedih kan, Zoey? Lo ga mau gue tau keadaan lo, jadi lo sembunyiin ini semua kan?” lanjut Asha dengan suara bergetar menahan air mata yang mulai mendobrak keluar.
“Hey, lo kok jadi banyak omong gini sih? Kayaknya pas gue lihat lo di TV ga banyak omong deh.” Zoey malah menggodanya, membuat laki-laki ini menundukkan kepalanya.
Zoey tertawa pelan melihat Asha mengelap air matanya yang mulai keluar, selanjutnya ia membawa tangan kanannya mengusap puncak kepala Asha. “Jangan nangis gini, Sha. Lo jadi kayak anak kecil kalo lagi nangis tau.”
“Lo kenapa sih jadi suka godain gue gini, Zoey?”
“Hahaha, kan mas mantan gue yang ngajarin.” Zoey kini mengacak-acak rambut Asha.
“Diem.”
Kemudian keduanya kembali terdiam, kembali sibuk dengan pikiran masing-masing. Masih dengan Asha yang tertunduk dan Zoey yang sedari tadi betah memperhatikannya.
“Sha?” tegur Zoey pelan.
“Hm?”
“Iya bener, gue sakit selama ini. Tapi maafin gue ya yang sembunyiin ini semua dari lo. Gue sebenernya bahagia bisa hidup seperti kemarin-kemarin yang bareng lo. Gue juga suka bisa nyobain hal-hal baru sama lo. Gue bersyukur bisa kenal lo di penghujung hidup gue.”
“Jangan bilang gitu, Zoey. Lo pasti masih bisa bertahan lebih lama lagi.”
Zoey menggelengkan kepalanya. “Enggak, Sha. Gue udah capek dipasangin alat-alat, gue udah capek disuntik lebih dari lima kali sehari, sakit Sha...”
“Zoey...”
“Gue gamau lama-lama di rumah sakit lagi, Sha. Gue benci bau rumah sakit, rasanya menyesakkan di sini.”
Asha segera membawa Zoey kedalam pelukannya, ia memilih untuk membuat perempuan ini nyaman, dan berharap suatu hal buruk tidak akan terjadi sekarang.
“Lo harus bahagia terus ya, Sha. Jangan sedih-sedih lagi kayak gini, gue ga suka dan sedih juga ga cocok buat lo.”
“Lah gue kan juga manusia, masa ga boleh sedih? Curang dong kalo gitu.” Asha tetap menjawabnya dengan cara sendiri.
Zoey sempat tersenyum sesaat. “Dari awal memang gue udah minta buat jangan berharap banyak sama gue, karena gue tau gue ga bakal bisa wujudin itu. Maafin gue ya, Sha.”
“Zoey, jangan kayak gini...”
“Sha, jangan pernah jatuh ke jurang alkohol lagi, gue seneng banget lo bisa pulang ke keluarga lo. Makasih udah mau hadir di hidup gue...”
Hingga tidak ada satu patah kata lagi yang keluar dalam beberapa menit setelahnya. Raga yang berada di dekapan Asha tiba-tiba melemah. Ketika Asha menolehkan kepalanya, ia menemukan Zoey sudah memejamkan matanya.
Dan sekenario Tuhan memang selalu baik, Semesta juga menjalankannya dengan begitu baik. Karena bisa mempertemukan dan memisahkan kedua insan manusia dengan berbagai hal yang tidak terguga.