mochaayo


Dengan langkah gontai dan sedikit diseret Wendy menuju lantai apartemen tempatnya tinggal. Kekecewaan tergambar jelas di raut wajahnya, ia telah menanti berjam-jam di depan rumah Jupiter tapi hasilnya nihil. Ia pulang tanpa sedikit pun penyelesaian masalah.

Namun, Wendy membeku tepat setelah pintu lift yang membawanya tiba di lantai empat terbuka. Matanya membulat seketika saat melihat laki-laki yang dua minggu ini mendiamkannya kini muncul di hadapannya.

Perlahan rasa kecewa yang semula hadir menghilang, seperti kabur diterpa angin. Ia merasa kepulangannya membawa hasil.

“Jupiter?” seru Wendy dengan perlahan berjalan menghampiri laki-laki yang terduduk lesu di depan unit apartemennya.

Sedangkan yang di panggil langsung menoleh ke arah sumber suara dan segera bangkit dari duduknya untuk menyambut kedatangan Wendy.

“Heh bayik! Lo kemana aja sih? Gue dari siang udah nungguin lo di depan rumah—Enggak bentar, lo ngapain di sini?”

Tapi semua pertanyaan Wendy itu dihiraukan begitu saja oleh Jupiter. Ia malah menarik badan kecil perempuan itu dan menenggelamkannya di dalam pelukannya.

Wendy membuang nafasnya berat, ia merasa sedikit lega tetapi juga kesal. Perlahan tangannya mulai bergerak memukul-mukul dada bidang Jupiter.

“Dasar bayik! Lo sebenernya kenapa sih? Gak jelas banget tiba-tiba ngilang, tiba-tiba diemin gue, tiba-tiba muncul lagi.”

“Sorry... gue udah kekanakan banget, Kak.”

Jupiter menggenggam tangan Wendy. Bukannya merintih kesakitan, ia malah tersenyum lebar.

&“Lo kenapa marah? Gara-gara Jeya confess ke gue? Padahal kan dia yang suka gue bukan gue yang suka dia,”* gerutu Wendy kesal. “Padahal gue sukanya lo, Jup...”

Senyuman Jupiter malah semakin lebar mendengarnya. Ia juga membawa tangannya ke puncak kepala Wendy dan mengacaknya pelan. “Lo kalo ngomel gini malah makin genesin deh, Kak.”

“Diem lo.”

Ya, candaan sedehana Jupiter tadi mampu memecah suasana yang sempat dingin di antara keduanya.

“Lo sebenernya ngapain ke sini?” tanya Wendy lagi.

“Cuma mau minta maaf.”

“Minta maaf doang?”

“Berharap apa lo sama jawaban gue, Kak?”

“Males ah, lo nyebelin.”

Wendy memegang handel pintu apartemennya, berniat pergi dari hadapan Jupiter yang sedari tadi terus-menerus menggodanya sampai membuat mukanya merona. Tapi, geraknya terhenti saat tangannya di tahan oleh laki-laki itu.

“Selain mau minta maaf, gue ke sini juga mau ngajak lo pacaran, tapi emang lo mau?”

“Mau lah.”

“Mau apa?”

“Mau jadi pacar lo lah.”

“Beneran?”

“Menurut lo?”

Jupiter dibuat terkekeh sendiri mendengar jawaban perempuan itu. Baginya itu terdengar begitu lucu di telinganya.

“Tapi... ntar dulu, nunggu lo lulus SMA dulu. Gue ga mau pacaran sama anak SMA,” tukas Wendy.

Katanya Peter Pan dan Wendy hanya dipertemukan tapi tidak untuk bersama. Namun, kali ini Semesta mempertemukan Wendy dengan Jupiter bukan dengan Peter Pan.


Tanpa ada suara ketukan ataupun panggilan sebelumnya tiba-tiba pintu kayu kamar Jupiter terbuka, menampakkan sosok laki-laki jangkung yang sempat berhenti sesaat. Tanpa sebuah kata terucap dari mulutnya, ia dengan langkah gontainya memasuki kamar itu.

Jeya langsung memasrahkan punggungnya ke tempat tidur. Netranya memperhatikan pigura foto di atas nakas yang berisi gambaran dirinya bersama adek tersayangnya, Jupiter.

Sedangkan si pemilik kamar yang sedang belajar hanya melirik sekilas dari mejanya. “Ngapain lo kesini?”

Namun, Jeya tak menjawabnya. Ia malah menggulirkan bola matanya menatap plafon putih di atas kamar.

“Gue lagi belajar, ga usah ganggu,” ucap Jupiter lagi.

Jeya tetap tak kunjung menjawab. Entah apa yang sedang dipikirkannya, ia masih menatap lurus lurus plafon kosong di atas sana.

“Pilih lo yang keluar apa gue yang keluar—”

“Gue ga pernah ngira lo bakal diemin gue kayak gini gara-gara cewek.” Dengan tersenyum tipis, Jeya akhirnya membuka kata. “Ternyata adek kecil gue sekarang udah gede ya.”

Mendengarnya sontak membuat Jupiter menghentikan gerakan pensilnya. Ia memasang telinga untuk mendengarkan semua kata yang keluar dari mulut abangnya.

“Lo pasti tau gue udah kenal Wendy jauh sebelum lo tau dia.”

“Trus maksud lo ngomong gitu apa? Lo mau gue ngalah gitu—”

“Enggak,” ucap Jeya dengan menggeleng walau sebenarnya Jupiter tak melihatnya. “Gue cuma mau cerita aja.”

“Dulu senyum Wendy yang kelewat manis sering buat gue salfok waktu ospek, dia yang selalu ceria buat gue tertarik buat temenan sama dia, tapi lambat laun pas gue sadar gue udah nyaman sama dia, bahkan pas gue tau semua tentang dia dari sisi lemahnya sampe masalah keluarnya gue jadi makin pengen jagain dia. Tapi, abang lo in terlalu cupu, Jup. Bertahun-tahun ga berani kasih tau Wendy apa yang sebenernya gue rasa dan ... malah keburu lo juga deket sama dia, jujur hati gue juga sakit pas tau itu,” lanjutnya.

Perlahan akhirnya Jupiter memutar kursi yang didudukinya. Badannya jadi menghadap Jeya dan matanya menatap laki-laki yang sedang telentang di atas tempat tidur.

“Lo tau gak? Buat ngomong gini ke adek gue sendiri aja gue perlu ngumpulin banyak keberanian.” Jeya terkekeh sendiri dengan perlahan menutup matanyanya. “Gue juga baru berani kemaren bilang Wendy kalo suka dia pas di motor pulang kuliah, yang kebetulan lo lihat juga.”

“Maafin gue pernah bohong kalo gue ga suka Wendy waktu itu. Tapi kalo lo mau marah, ke gue aja jangan ke Wendy. Soalnya dia suka lo ga sebercanda itu, Jup. Dia bener-bener suka sama lo,” lanjutnya lagi.

Selanjutnya hanya ada hening di sana hingga beberapa menit. Keduanya sama-sama terdiam dengan Jupiter yang masih menatap Jeya.

Jupiter terdengar berdeham sebelum kembali membuka kata. “Kalo ... gue pacaran sama Kak Wendy lo gapapa, Bang?”

Tapi tidak ada jawaban dari Jeya sampai beberapa detik. Laki-laki itu hanya terdiam dengan kedua mata yang tertutup rapat.

“Bang?”

”...”

“Bang Jey?”

Akhirnya malah suara dengkuran Jeya yang terdengar menjadi penutup percakapan malam ini.


“Mobil lo kemana, Wen? Kok tumben gak lo bawa?”

Jeya tampak menaikan kaca helmnya dan menoleh ke samping untuk mengajak Wendy berbicara. Ia tiba-tiba merasa penasaran dengan alasan perempuan itu meminta tumpangan untuk pulang sore ini.

Namun, sepertinya perempuan yang duduk di jok motor belakangnya itu tidak dapat mendengar suara Jeya dengan jelas. Wendy hanya diam dan tidak menyahut sedikitpun sampai beberapa menit berlalu.

“Wen?!” panggil Jeya lagi dengan meninggikan nadanya.

“Hah?Apa?”

“Lo tumben ga bawa mobil?”

“Kenapa? Lo ga ikhlas ya ngenterin gue pulang?” ketus Wendy.

“Gak gitu, tapi ... dahlah.” Jeya menghela napasnya panjang.

Mengetahui laki-laki yang sedang menyetir dihadapannya kesal, tawa Wendy malah keluar begitu saja.

“Hahahaha bercanda, Jey.” Wendy menepuk-nepuk punggung Jeya. “Mobil gue lagi di servis rutinan, biasa lah udah jadwalnya ntar kalo telat diomelin Oma.”

“Ohh.”

Ketika melewati jalanan yang sudah lumayan senyap dari hingar bingar kendaraan lain, Jeya terlihat memelankan laju motor yang dikendarainya. Sebenarnya mereka sudah dekat menuju apartemen Kale, tapi entah mengapa laki-laki itu malah melajukan pelan motornya.

“Wen?” deham pelan Jeya.

“Hah? Apalagi?”

Jeya semakin melajukan motornya pelan, berusaha membuat perempuan yang saat ini duduk di belakangnya dapat mendengar ucapannya dengan jelas.

“Gue mau ngomong.”

“Harus banget ya lo ngomongnya di jalan gini?”

“Iya, soalnya ini penting,” ucap Jeya yang membuat Wendy mengerutkan dahinya.

Di bawah langit sore ditemani suara knalpot motor dan klakson kendaraan lain yang saling bersahutan, Jeya berusaha mengikuti kata hatinya untuk mengatakan apa yang selama ini ia pendam.

“Anu... gue...” Jeya menggaruk lehernya yang aslinya tidak gatal. “Sebenernya udah suka sama lo dari kita masih maba dulu, Wen.”

Namun, laki-laki itu tidak berharap sedikitpun dengan jawabannya. Terserah kalimatnya barusan akan ditanggapi atau dilupakan, yang pasti dirinya merasa lega telah mengatakannya.

Wendy yang mendapatkan pengakuan dari teman dekatnya sendiri pun hanya bisa diam sampai beberapa saat. Ia benar-benar bingung harus menanggapi seperti apa agar tidak menyakiti hati Jeya.

“Iya, gue tau lo sukanya sama adek gue kan? Jupiter.” Jeya mengulum senyum, meskipun sebenarnya lawan bicaranya tidak bisa melihat itu. “Gue ga minta lo jadi pacar gue kok, gue juga ga nuntut lo buat suka balik, gue cuma mau lo tau aja.”

Wendy masih terdiam sampai beberapa detik. “Kenapa lo baru bilang sekarang sih, Jey?”

“Gue baru berani sekarang, Wen.” Jeya terkekeh, menertawai betapa cupunya dirinya. “Kalo lo nyaman sama Jupiter, go ahead, Wen. Adek gue emang anaknya kekanakan banget tapi dia anak yang baik kok.”

“Sorry, Jey—”

“Enggak, jangan minta maaf.”

“Tapi—”

“Wen, hujan!” pekik Jeya melihat rintik hujan mulai turun.

Sontak laki-laki itu segera memacu cepat motornya menuju apartemen Wendy sebelum hujan turun dengan sangat deras.

“Pegangan, Wen!”

Jeya menarik tangan perempuan itu dan melingkarkannya di pinggangnya. Wendy juga hanya bisa pasrah, karena Jeya melajukan motornya dengan begitu cepat.

Maafin gue yang terlalu ga peka ini, Jey, gumam Wendy sangat pelan dengan memeluk badan laki-laki itu dari belakang.

Mungkin jika Jeya mengatakannya jauh sebelum perempuan itu mengenal Jupiter, bisa saja jawaban Wendy akan berbeda.


Selang beberapa menit setelah obrolannya dengan Jeya di pesan singkat usai, terdengar suara bel berbunyi dari pintu apartemen membuat badan Wendy membeku seketika.

Perempuan itu terdiam sejenak dan berpikir, secepat itu kah Jeya datang menjemputnya?

Wendy pun segera bangkit dari tempat tidurnya. Dengan membawa serta seluruh rasa penasarannya ia berjalan, bergegas membukakan pintu untuk seseorang yang tiba.

“Selamat ulang tahun, Kak Wendy!” seru seseorang dari balik pintu.

Baru saja Wendy membuka pintu apartemennya, ia telah dikejutkan dengan daksa siapa yang kini berada di hadapannya. Jupiter dengan membawa kue dan lilin yang menyala tengah berdiri di sana.

Wendy terdiam kembali dengan melipat bibirnya, menahan senyum karena malu. Netranya terus menatap lekat Jupiter dengan tidak percaya. Padahal tadi ia sempat mengira Jupiter tidak jadi datang ke apartemennya hari ini.

“Kak?” Jupiter melambai-lambaikan tangannya di depan muka Wendy. “Kok malah diem sih? Cepetan tiup lilinnya dong.”

Bola mata Wendy bergulir turun, beralih memperhatikan barisan lilin warna-warni yang sudah hampir meleleh itu. Ia pun segera bersiap untuk meniupnya.

“Heh! Jangan langsung ditiup dong, bikin permohonan dulu,” gerutu Jupiter menghentikan Wendy.

“Gue gak percaya sama yang kayak gitu.”

“Tetep aja, lo harus bikin permohonan!”

Melihat mata Jupiter yang begitu antusias membuat Wendy tidak bisa menolaknya. “Yaudah deh gue bakal minta satu.”

Perempuan itu memejamkan kedua matanya, merekatkan kedua telapak tangannya, lalu membuat permohonan secara rahasia di dalam hatinya. Kemudian perlahan matanya membuka, memandang Jupiter yang masih tampak antusias menunggunya. Dan Wendy pun meniup dua lilin itu sekaligus.

Sebenarnya, sudah begitu lama Wendy tidak merayakan ulang tahunnya bersama orang lain seperti sekarang ini. Biasanya ia hanya membeli kue dan meniup lilin sendiri di hadapan pigura foto kakak laki-lakinya. Tapi hari ini berbeda, ia merayakan ulang tahunnya bersama seseorang yang belum lama ini dikenalnya, Jupiter.

Walaupun ini memang merupakan perayaan ulang tahun yang sangat sederhana dan sepi. Tapi tetap terasa istimewa karena hadirnya laki-laki itu.

Tangan Wendy bergerak melingkari pinggang Jupiter dan memeluknya. Dan perempuan itu menenggelamkan badannya di sana, untuk mengungkapkan rasa terimakasihnya.

“Makasih ya, Jup.”

“Buat apa? Gue cuma kasih kue doang loh, Kak?”

“Enggak, ini lebih dari sekedar cuma,” Wendy menggeleng di dalam pelukannya. “Ini emang sederhana banget, tapi udah bisa bikin gue ngerasa seneng kok.”

“Dan yang paling penting, gue bersyukur bisa kenal sama lo, Jup. Gue jadi merasa ga sendirian lagi dan merasa aman karena ada yang jagain. Padahal awalnya gue lihat lo kayak anak kecil yang pengen gue jagain, malah jadinya lo yang jagain gue terus gini,” lanjutnya.

Jupiter malah tertawa mendengarnya. “Hahaha, kenapa tiba-tiba ngomongnya jadi serius kayak gini deh?”

Pertanyaan Jupiter ini membuat Wendy terdiam. Dirinya juga tidak mengerti dengan perilakunya sendiri sekarang. Mungkin kah rasa nyaman mulai tumbuh di dalam dirinya.

“Hmm... Ga tau,” ucap Wendy yang masih enggan melepas pelukannya. “Mungkin gue udah mulai nyaman sama kehadiran lo.”

Benar, Wendy juga menyadari dirinya tidak memiliki alasan untuk tidak merasa nyaman dengan laki-laki yang rela minum susu kotak padahal tidak suka demi mengikutinya, mencarinya saat mobilnya mogok di malam hari juga, bahkan selalu setia mendengarkan tiap cerita tentang hidupnya.

Jadi jangan terlalu lama mengulur waktu ya, Jupiter.


Matahari semakin merosotkan dirinya ke ujung barat bumi. Semburat jingganya pun mulai mewarnai langit sore ini. Dan pantai kala senja pasti lebih ramai dibanding biasanya.

Di antara keramaian itu, ada Wendy tampak asik sendiri bermain-main dengan deburan ombak yang menabrak kakinya. Sesekali angin yang berhembus membelai rambutnya lembut menghadirkan seutas senyum dibibir tipis perempuan itu. Cantik, hanya satu kata itu yang bisa diucapkan Jupiter saat melihatnya.

Dengan rambut yang diterpa angin, Jupiter berjalan santai menghampiri Wendy.

“Oh lo udah balik?” tanya Wendy menyambut kedatangan laki-laki itu.

“Iya lah ntar kalo lama lo kangen gue.”

“Apaan sih mulai deh,” Wendy memutar matanya.

Tanpa mengucap satu kata pun Jupiter tiba-tiba memakaikan jaketnya di pundak Wendy. Hingga membuat badan kecil perempuan itu tenggelam dalam jaketnya.

“Kenapa lo kasih jaket ke gue?”

“Anginnya udah mulai dingin, pake aja.”

“Heh, bayi yang lebih gampang masuk anginnya, lo aja yang pake.”

Wendy berusaha melepaskan jaket itu, tapi dibuat berhenti karena tangannya digenggam oleh Jupiter.

“Stop perlakuin gue kayak bayi,” ucap Jupiter tegas. “Lagian baju lo tipis, udah pake aja.”

Jupiter yang menatap lekat mata Wendy dengan jarak dekat ini sukses membuat semburat merah merekah di pipi perempuan yang saat ini di hadapannya.

Menyadari wajahnya mulai memerah,  Wendy pun segera mengalihkan pandangan dan juga pembicaraan. “T-titipan gue tadi mana?”

“Nih.” Jupiter menyerahkan sebuah kantong plastik yang berada di tangannya.

Wendy pun langsung meraih dan membukanya. Namun, wajah perempuan itu kehilangan cerah seketika karena melihat isi kantong yang tidak sesuai ekspetasinya, hanya berisi satu minuman saja.

“Kok cuma satu, Jup?”

“Punya gue udah habis di jalan tadi.”

“Oh.”

“Kenapa? Lo kira gue beli cuma satu biar romatis bisa berbagi sedotan sama lo gitu?” ejek Jupiter.

“Mana ada?” Wendy mendengus kesal dan beranjak pergi meninggalkan Jupiter.

Yang ditinggal hanya tertawa sambil mengikuti Wendy dari belakang layaknya anak anjing yang mengikuti tuannya.

Hingga langkah kaki mereka membawa keduanya menjauh dari bibir pantai. Dan kini keduanya duduk beralaskan sebuah tikar berpayung. Mata keduanya pun sama-sama menikmati matahari yang mulai menenggelamkan diri.

“Kak?”

“Hm?”

“Fokus banget sih lo lihatin mataharinya, sampe ga ngelihat gue sama sekali.”

“Cemburu kok sama matahari sih, Jup,” sinis Wendy.

“Kenapa sih lo dari tadi ga ngelihatin gue?”

Sejujurnya Wendy juga ingin sekali menatap Jupiter dalam-dalam sebagai tanda syukur bisa menghabiskan sore ini bersamanya. Tetapi, hari ini laki-laki yang bersamanya ini terlampau ganteng sampai jantung Wendy rasanya ingin meledak tiap kali melihat ke arah Jupiter. Ia juga sedang berusaha keras menyembunyikannya agar tidak melakukan hal kelewat batas.

“Jadi lo mau gue lihatin?”

Pertanyaan retoris dari Wendy hanya disambut anggukan oleh Jupiter.

“Coba deh lo tutup mata, biar gue lebih enak ngelihatinnya.”

“Oke.” Jupiter langsung menurutinya, dengan cepat ia menutup mata.

BUSET GANTENG BANGET,  teriak Wendy di dalam hatinya.

Jantung perempuan itu langsung berdebar bagai ada konser di dalamnya. Tapi, tiba-tiba ada yang membuatnya bingung.

“Kenapa muka lo tiba-tiba merah, Jup?”

”... Kalo gue tutup mata gini, apa lo bakal cium gue diem-diem, Kak?” celetuk Jupiter membuat Wendy membulatkan matanya. “Kayak adegan di film romance gitu.”

Sontak tanpa pikir panjang Wendy langsung mendorong tubuh Jupiter sampai terhempas ke pasir.

“Gajelas lo anjir!”

“Cie mukanya merah,” goda Jupiter dengan tawa mengejek.

“Jauh-jauh sono lo!”

“Muka lo jadi kayak apel deh, Kak.”

“Diem!!!”

“Wahh Kak! Ada orang terbang tuh,” ucap Jupiter yang melihat ke atas.

“Mana?” Wendy mengikuti arah pandang Jupiter.

“Ini!” Jupiter mengecup pipi Wendy tanpa aba-aba. “Gue nyaman tiap bareng lo, Kak.”

Wendy membeku, tak merespon apa pun. Matanya hanya terpaku dengan matahari yang tinggal separuh di atas permukaan air laut. Tapi, jantungnya sudah berlompatan kesana kemari dan jiwanya juga telah terbang meninggalkan bumi.

Semesta telah mempertemukan dua orang yang saling mengagumi. Sebenarnya dunia tidak terlalu jahat kan?


Dengan membawa kantung belanjaan di tangan kanannya, Wendy kini berjalan kembali ke mobilnya. Kap mobil putih tersebut sudah tertutup rapat, terlihat juga Jupiter sedang merapikan perkakas bawaannya.

“Udah selesai?”

“Iya, tadi gue coba udah bisa nyala,” jawab Jupiter yang menoleh singkat. “Tapi besok tetep harus lo bawa ke bengkel.”

Wendy mengangguk, lalu mendudukkan dirinya di atas trotoar untuk menunggu Jupiter selesai. Ia pun juga mulai meminum susu kalengan yang dibelinya.

“Lo kok bisa tau mobil gue mogok di sekitar sini?”

“Keren kan? Gue punya indra ke-enam.” Jawab Jupiter tanpa melihat Wendy.

“Beneran?”

“Engga lah, bohongan,” tawa pelan Jupiter keluar begitu saja melihat Wendy kesal.

“Nyebelin banget sih lo.”

Setelah selesai berurusan dengan perkakasnya kini Jupiter mulai mengikuti Wendy duduk di tepian trotoar. Dan perempuan itu pun menyerahkan sebuah minuman yang dijanjikan tadi.

“Kenapa susu lagi sih?” Protes Jupiter melihat susu kotak yang diberikan kepadanya.

“Beda, kemarin vanila ini stroberi.”

“Tapi kan ini sama-sama susu, Kak.”

“Ga usah banyak protes,” Wendy mengacak rambut laki-laki itu. “Lagian bayi kan minumnya susu.”

“Gue bukan bayi,” jawab singkat Jupiter dengan menurunkan tangan Wendy dari kepalanya.

“Hahahaha, iya iya yang udah gede.” Kini giliran tawa Wendy yang perlahan keluar.

Kemudian ada sunyi sejenak di sana, Jupiter yang masih merasa sedikit kesal hanya diam dengan terus memperhatikan sosok Wendy dari samping, ia juga memperhatikan bagaimana Wendy meneguk minumannya.

“Gue lihat-lihat lo sering minum susu, biar tinggi ya?” Tanya Jupiter tiba-tiba.

Spontan Wendy meninju lengan Jupiter, “Ga usah bawa-bawa tinggi badan ya anjir.”

“Emangnya susu enak, Kak?”

“Enggak,” Wendy menggeleng. “Ga enak, hambar, tapi katanya susu bisa netralin racun jadi gue harap racun-racun yang bikin masalah di hidup gue juga bisa ikutan ilang.”

Sejujurnya Wendy tidak pernah mengatakan alasannya ini pada orang lain seperti sekarang ini. Biasanya ia selalu menjawab enak tiap kali ditanya hal serupa. Tapi malam ini berbeda, ia mengatakannya begitu saja dengan santai pada orang yang belum lama ini dikenalnya, Jupiter.

“Udah mau jam dua belas.” Jupiter melirik arloji yang melingkar ditangannya. “Pulang malem gini lo ga dimarahin, Kak?”

“Enggak,” Kali ini Wendy tersenyum kecut. “Siapa juga yang bakal marahin gue?”

“Papah mamah lo?”

“Udah bahagia sama keluarga barunya masing-masing.”

“Abang lo?”

Wendy tak langsung menjawab, ia tertegun sejenak. Senyumnya yang kecut tadi berubah menjadi senyuman yang sulit Jupiter artikan.

“Lo tinggal sama abang lo kan? Masa dia ga nyariin lo?” Jupiter mengulangi pertanyaannya.

“Enggak juga, kita tinggal sendiri-sendiri kok, gue di bumi dia di surga.”

Jupiter tersadar akan kalimat Wendy barusan langsung terlihat cukup kaget, lagi-lagi perempuan yang bersamanya ini mengejutkan dirinya.

“Maaf, Kak.”

“Santai aja kali,” Wendy terkekeh pelan. “Emang ga ada yang peduli sama hidup gue kok.”

“Jangankan gue pulang malem, gue ga pulang, gue ga makan, tidur gue ga nyenyak, bahkan gue sakit aja ga ada yang peduli.” Lanjutnya dengan terkesan sedang menertawai diri.

“Gue peduli sama lo kok, Kak,” ucap Jupiter setelah ada hening di sepersekian detik.

“Siapa? Lo? Anak SMA yang belum lama ini gue kenal?”

Wendy menatap lurus mata Jupiter di depannya, perlahan tawanya keluar kembali, bahkan ia sampai menitikan air mata disudut-sudut matanya. Sedangkan yang di tertawai hanya diam dan menggaruk tengkuknya.

“Lo ga percaya sama gue?”

“Papah gue yang udah gue kenal dari lahir aja gue ga percaya, apa lagi sama orang baru,” jawab wendy di sela tawanya.

Jupiter mengerutkan dahinya heran, perempuan di sampingnya ini memang mudah tertawa dengan hal sederhana, tapi entah mengapa kali ini rasanya berbeda.

“Persetan orang bilang ayah itu pahlawan putrinya, nyatanya papah gue yang udah bikin luka paling dalam di hati anaknya.” Wendy terseyum miring.

“Ibaratnya tuh ya hidup itu kayak komidi putar, kadang di atas kadang di bawah, tapi kayaknya komidi putar gue ga berputar deh.”

Sempat ada hening kembali di antara keduanya. Sejujurnya Jupiter bingung harus menanggapi seperti apa.

“Eh.. sorry-sorry, gue malah jadi oversharing gini.”

“Kak?”

“Hm?”

Jupiter menolehkan kepalanya perlahan, berusaha mendapati tatapan perempuan yang saat ini duduk di sebelahnya.

“Cari kebahagiaan bareng gue mau?”

“Hah?”

“Coba percaya sama gue aja dulu, soal bahagia ayo cari bareng-bareng.”

Wendy membalas menatap lurus mata laki-laki di sampingnya, tanpa diduga malah perlahan tawanya keluar kembali.

“Bahkan tu ya kalo emang bener komidi putar lo ga berputar, gue rela kok jadi teknisinya.” Jupiter mencoba meyakinkan Wendy.

“Ah masa?”

“Serius.”

“Yang bener?”

“Kalo lo ga percaya, lo bisa kok pegang janji gue.” Jupiter mengacungkan jari kelingkingnya di hadapan Wendy.

Masih dengan tertawa Wendy pun mengaitkan kelingkingnya di sana.

Mungkin memang Jupiter dihadirkan untuk membawa kembali tawa yang telah lama hilang dari dunia Wendy melalui satu dua kejadian yang mempertemukan keduanya.


Jupiter bukan seperti orang lain yang membutuhkan waktu sebentar untuk menenangkan diri. Setidaknya butuh semalaman untuk membuat hatinya benar-benar merasa damai.

Kini arloji yang melingkar di pergelangan tangan Jupiter telah menunjukkan jam sepuluh malam, namun belum ada niat baginya untuk pulang ke rumah. Ia masih merasa betah duduk sendirian di sebuah ayunan pinggiran lapangan dengan menikmati lamunan.

“Oh jadi ini yang namanya urusan bayi, Jup?” Suara perempuan tiba-tiba menyadarkan lamunannya dari arah belakang.

Mendengar namanya disebut, Jupiter segera menghentikan lamunannya dan menoleh ke asal suara tersebut.

“K-kak Wendy?” Jupiter sampai tergagap melihat perempuan berkardigan merah jambu yang kini berdiri menghadap dirinya.

“Apa serunya sih diem aja di ayunan berhenti sambil lihatin lapangan kosong gini?” tanya Wendy yang telah ikut duduk di ayunan sebelahnya.

“Lo juga ikut nyariin gue, Kak?”

“Enggak,” Wendy menggelengkan kepalanya. “Gue tadi dari Indomaret depan, malah ga sengaja nemu lo sendirian di sini.”

Jupiter hanya menganggukkan kepalanya, tapi ada rasa kecewa dan senang yang muncul bersamaan. Kecewa karena Wendy tak ikut mencarinya, juga senang karena malam ini memepertemukan keduanya layaknya takdir.

“Lo dari siang di sini?” tanya Wendy lagi.

“Enggak,” kini giliran Jupiter yang menggeleng. “Baru dari sore, tadi di sini rame jadi gue nonton orang main futsal di sini.”

Wendy mengangguk dan mengeluarkan sekotak susu vanila dari kantong plastik dan menyodorkannya ke Jupiter, “Yaudah nih minum dulu.”

“Kok susu vanila?”

“Gue tadi cuma beli susu kotak, ga nyangka juga bakal ketemu lo,” Wendy menjelaskannya secara singkat. “Tapi kayaknya susu pas buat lo yang belum makan dari siang.”

“Sebenernya gue ga terlalu suka rasa vanila sih, tapi gapapa,” Jupiter mulai meminum susu itu.

“Lagian susu juga bagus buat pertumbuhan bayi hahahaha,” tawa pelan Wendy keluar begitu saja.

Wendy bahkan juga melepas kardigannya dan memakaikannya di badan Jupiter. “Udah malem, dingin.”

Jupiter sampai mengerutkan dahinya keheranan. Sebernarnya siapa yang laki-laki di sini, pikirnya.

“Kenapa malah lo kasihin gue?”

“Bayi lebih gampang masuk anginnya, pake aja.”

“Udah, stop!” protes Jupiter kesal. “Jangan perlakuin gue kayak bayi lagi.”

“Hahahaha kan tadi lo sendiri yang ngaku bayi.”

Lagi, tawa pelan Wendy perlahan keluar kembali. Baginya mengerjai Jupiter hingga kesal sangatlah menyenangkan. Ia bahkan sampai mengacak rambut laki-laki di sebelahnya ini karena gemas.

Setelah puas mengerjai Jupiter, Wendy mencoba memainkan ayunannya pelan. Tanpa sengaja matanya melirik Jupiter yang ternyata memperhatikan sosoknya dari samping.

“Kenapa lihat gue gitu? Masih sebel?”

“Enggak udah malem aja, lo ga pulang, Kak?”

“Lo aja ga pulang, kenapa lo nyuruh gue pulang?”

“Gue lagi males pulang, lagi capek ngadepin lawakan Papah di rumah.”

“Bukannya malah lucu kalo ngelawak?”

“Kalo ngelawaknya nuntut gue buat menuhin semua ekpetasi Papah ya ga lucu, Kak.” Jupiter tersenyum miring.

“Hah?”

“Selama ini gue ga pernah cukup jadi diri gue sendiri, Kak. Selalu dibanding-bandingin sama Bang Jeya, selalu diminta bisa lebih, padahal gue ya gini adanya, ga bisa dipaksa bisa dalam semua hal.” Senyum miring Jupiter kini berubah menjadi senyum kecut. “Emang sih gue anaknya nakal, sampe orang tua gue sering dipanggil ke sekolah. Tapi, kalo belajar gue rajin kok, bahkan gue bisa masuk ke sekolah yang Bang Jeya ga bisa masuk.”

“Tapi usaha gue ga pernah dapet apresiasi, tetep aja Bang Jeya yang jadi tolak ukur, dan gue selalu dituntut jadi kayak Bang Jeya, padahal gue ya gue, Bang Jeya ya Bang Jeya, beda,” lanjut Jupiter dengan nada melemah diakhir.

Wendy menatapnya dengan hangat, bahkan senyum juga tersemat di bibir tipisnya. Ia tidak memandang Jupiter seperti seorang anak durhaka yang pantas dihukum karena melawan Papahnya.

“Jadi itu yang buat lo males pulang?”

“Iya,” Jupiter mengangguk kecil.

“Kalo lagi capek, berhenti dulu sebentar gapapa kok.” Wendy juga menepuk-nepuk punggung Jupiter.

Wendy dan kalimat sederhananya mampu menguatkan Jupiter. Selama ini orang-orang hanya menyuruhnya pulang dan bersabar, tanpa mau mengerti apa yang sebenarnya Jupiter rasa.

“Lihat lo kabur gara-gara males sama rumah gini malah jadi inget abang gue, dulu abang gue juga sering kayak gini,” ucap Wendy dengan membuang pandangannya jauh-jauh. “Walaupun rumah gak selamanya ramah, tapi kabur bukan jalan keluarnya, dan bakal ada orang yang selalu nungguin lo pulang.”

“Lo boleh kok males pulang karena Papah lo, tapi senggaknya lo harus pulang buat Mamah sama Abang lo, Jup.”

“Males ah.”

“Lo pilih pulang apa gue seret dah?!” Wendy meninggikan nadanya berniat untuk mengancam.

“Ayo seret gue,” seru Jupiter kegirangan.

“Gak, ga jadi,” ucap Wendy dengan mulai melangkah meninggalkan ayunan. “Malah seneng lo nya kalo gue seret.”

“Loh kok malah ninggal? Tadi katanya mau seret,” Jupiter bergegas mengikuti langkah perempuan itu. “Ayo dong seret gue, Kak.”

Ini Jupiter, pikir Wendy. Jupiter dengan segala tingkah kekanakannya.

Entah lah, nantinya siapa yang akan menjadi pemenang antara rasa gengsi dan rasa nyaman.


Dengan langkah lebar dan sedikit berlari Nathan menuju kamar tempat Kale dirawat. Kekhawatiran tergambar jelas di raut wajahnya, bahkan mungkin semua orang yang memandangnya pasti tahu kalau laki-laki ini sedang dirundung kegelisahan yang luar biasa.

Nathan berhenti tepat setelah membuka pintu Ruang Cempaka Nomor 87. Hatinya terasa begitu sesak saat memperhatikan perempuan yang kemarin malam memanggilnya sayang kini sedang terduduk lemah di atas ranjang rumah sakit.

Ketika matanya beralih ke arah Bang Samy, Dani, Aya, Biyu, dan kedua orang tua Kale, kekecewaan pun ikut hadir di dalam diri Nathan. Ia merasa menjadi orang bodoh yang terakhir mengetahui tentang ini semua.

“Nathan?” seru Kale dengan memasang wajah bertanya-tanya bagaimana bisa laki-laki ini datang kesini.

“Hai, Kal!” jawab Nathan yang bejalan pelan ke arah Kale dengan memaksakan diri untuk tetap tersenyum.

Melihat keduanya membuat orang-orang yang ada di sana mengerti dengan keadaan, mereka memilih menarik diri keluar demi memberikan ruang untuk keduanya dapat berbicara.

Nathan mendudukan dirinya di kursi yang berada tepat di samping ranjang Kale. Tapi, ia malah mengalihkan pandangannya ke arah jendela di depannya, memandangi hujan yang kembali turun di bulan Februari.

“Lo kesini lari ya? Sampe keringetan gitu.” Kale membawa tangan kanannya mengusap tisu di kening Nathan. “Sorry gue ga menuhin janji nganterin lo ke bandara, Than.”

Sekuat apapun Nathan berusaha mengalihkan pandangannya, pada akhirnya matanya tetap kembali menatap lekat manik perempuan di hadapannya ini. Kembali mencari-cari tatapan dingin yang sering menatapnya, tapi tetap saja tatapan itu kini telah menjadi tatapan yang begitu sendu.

Pakaian lengan pendek khas rumah sakit, infus yang menancap di punggung tangan kiri, dan kabel-kabel yang menempel pada badan Kale membuat hati Nathan terasa sesak kembali.

“Lo kok kurus banget sih, Kal...” perlahan Nathan mulai membuka kata. “Apa selama ga ketemu gue lo ga makan? Segalau itu ya lo jauh dari gue? Padahal kan gue jauh di mata tapi dekat di hati lo.”

“Dih, pede banget. Yang jauh di mata tapi dekat di hati gue itu lambung bukan lo,” balas Kale dengan nada yang biasanya ia gunakan.

Nathan menyimpulkan senyum. Masih bisa mendengar suara Kale dengan nada khasnya membuat Nathan merasa begitu lega, walau dengan keadaan yang tidak pernah ia bayangkan.

“Gue bodoh ya, Kal.”

“Hah?”

“Gue dengan bodohnya ngira Samuel itu gebetan lo, padahal dia dokter lo, bahkan gue ga pernah kepikiran kalo itu abang gue sendiri. Dan waktu lo bilang lagi healing juga, malah gue kira lo lagi liburan.”

“Gue juga terlalu bodoh sampai ga paham kalo lo suruh gue menjauh bukan karena lo ga suka sama gue, tapi lo lagi melindungi gue dan perasaan gue. Lo ga mau gue sedih kan, Kal? Lo ga mau gue tau keadaan lo, jadi lo sembunyiin ini semua kan?” lanjut Nathan dengan suara bergetar menahan air mata yang mulai mendobrak keluar.

“Hey, lo kok jadi lebih banyak omong gini sih? Kayaknya pas terakhir ketemu ga secerewet ini deh.” Kale malah menggodanya, membuat laki-laki ini menundukkan kepalanya.

Kale juga tertawa pelan saat melihat Nathan mengelap air matanya yang mulai keluar, selanjutnya ia membawa lagi tangan kanannya mengusap puncak kepala Nathan. “Jangan nangis gini, Than. Lo jadi kayak anak kecil kalo lagi nangis tau.”

“Lo kenapa sih jadi suka godain gue gini, Kal?”

“Hahaha, kan temen tapi sayang gue yang ngajarin.” Kale kini mengacak-acak rambut merah Nathan.

“Diem.”

Benar, kemudian mereka menjadi terdiam. Nathan masih tertunduk dan Kale yang sedari tadi masih betah memainkan rambut merahnya, keduanya pun kembali sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Nathan?” tegur Kale pelan.

“Hm?”

“Maafin gue ya yang sembunyiin ini semua dari lo... Gue sebenernya bahagia bisa hidup seperti kemarin-kemarin yang bareng lo. Gue juga suka bisa nyobain hal-hal baru sama lo. Bahkan gue juga bersyukur bisa kenal lo di penghujung hidup gue.”

“Jangan bilang gitu, Kal. Lo pasti masih bisa bertahan lebih lama lagi.”

Kale menggelengkan kepalanya. “Enggak, Than. Gue udah capek dipasangin alat-alat, gue udah capek disuntik lebih dari lima kali sehari, rasanya sakit banget Than...”

“Kal...”

“Gue gamau lama-lama lagi di rumah sakit lagi, Than. Gue udah capek rebahan terus, punggung gue sakit.”

Nathan segera membawa Kale kedalam pelukannya, ia memilih untuk membuat perempuan ini nyaman, dan berharap suatu hal buruk tidak akan terjadi sekarang.

“Lo harus bahagia terus ya, Than. Jangan sedih-sedih lagi kayak gini, gue ga suka dan sedih juga ga cocok buat lo,” bisik Kale dari dalam dekapan Nathan.

“Lah gue kan juga manusia, masa ga boleh sedih? Curang dong kalo gitu.” Nathan tetap menjawabnya dengan cara sendiri.

Kale sempat tersenyum sesaat. “Dari awal memang gue udah minta buat jangan berharap banyak sama gue, karena gue pun ga pernah bisa berharap banyak sama diri gue sendiri. Maafin gue ya, Than.”

“Kal, jangan kayak gini...”

“Oh iya, kemarin gue udah janji kalo ketemu bakal bilang sesuatu. I love you too, Nathan...”

Hingga tidak ada satu patah kata lagi yang keluar dalam beberapa detik setelahnya. Raga yang berada di dekapan Nathan tiba-tiba melemah, alat monitor oksigen dalam darah pun berbunyi. Ketika Nathan menolehkan kepalanya, ia menemukan Kale sudah memejamkan matanya.

“Kal...”

“Kale?”

“Kaleya!”

Semua panggilannya tidak mendapatkan jawaban, Nathan pun segera berteriak memanggil dokter, “Bang Samy!”

Dan pada saat itu juga langsung diadakan tindakan darurat oleh para tenaga medis di ruangan itu. Tapi pada pukul 15.05, Kaleya Bentala dinyatakan meninggal dunia.

Sepertinya benar kata anak indi, perihal langit dan bumi tak akan pernah menjadi amorfati, karena mereka begitu aksa dan akan selamanya menjadi enigma semesta.


Setelah serangkaian acara wisuda selesai, Nathan bersama mahasiswa lainnya segera keluar meninggalkan gedung auditorium tempat acara itu diadakan.

Melihat mahasiswa lain dihampiri oleh orang-orang terdekat mereka, membuat Nathan mengharapkan hal yang menurutnya tidak akan terjadi. Berharap Kale hadir dan menghampirinya di acara wisuda ini.

Dia ga mungkin di sini, ucap pelan Nathan menertawai harapannya.

Nathan memilih meninggalkan emperan gedung yang ramai. Dan langkah beratnya membawa dirinya berjalan pelan menuju parkiran.

“Nathan!”

Suara khas dari perempuan yang Nathan harapkan datang secara sopan masuk ke telinganya. Sempat membuat dirinya menghentikan langkah, tapi ia memilih mengabaikannya. Mungkin salah dengar, pikirnya.

“Jonathan Sky!”

Kali ini suara itu menyebut nama lengkapnya, tapi Nathan masih mengira itu hanyalah halusinasi dan memilih untuk tetap menghiraukannya.

Namun, tiba-tiba pergelangan tangan Nathan di raih oleh seseorang dari balik punggungnya, membuatnya membalikkan badannya dengan cepat.

“Sombong banget sih lo, dipanggil-panggil kagak nyahut.”

Kale dengan tatapan dinginnya muncul di hadapan Nathan, membuat laki-laki ini seketika menahan napasnya.

Tapi Kale terasa begitu asing di mata Nathan, penampilan perempuan ini tidak seperti saat terakhir bertemu. Pipinya menjadi begitu tirus, sorot matanya yang terkesan lelah, dan bibirnya juga sepucat perak.

“Kal? Ini lo beneran?”

“Lo habis dari mana?”

“Kok lo pucet banget? Lo sakit?”

Semua pertanyaan Nathan dihiraukan begitu saja oleh Kale, perempuan ini malah menyerahkan buket bunga yang sedari tadi berada di genggamannya.

“Happy graduation, Than,” ucap Kale dengan bibir yang dihiasi senyuman.

Nathan tersenyum memperlihatkan sepasang lesung pipinya dan menerima buket bunga itu perlahan. “Thank—”

Belum sempat laki-laki ini menyelesaikan ucapannya, Kale sudah membawa tangannya ke kepala Nathan dan mengacak rambut merahnya pelan. “Bentar, kok rambut lo jadi merah?”

Nathan terkekeh pelan. “Ini gara-gara gue galau pas lo suruh gue jauhin lo anjir, terus gatau tiba-tiba pengen aja warnain rambut.”

“Ngapain harus warnain rambut coba? Kayak gaada yang lain aja.”

“Soalnya orang-orang kalo patah hati pada potong rambut, Kal. Gue pengen beda aja jadi warnain rambut gitu.”

“Astaga Nathan...” Kale ikut terkekeh pelan.

“Kenapa? Jelek ya?”

“Not gonna lie, but red suit you, Than.” Kale menggeleng. “Jadi tambah cakep.”

“Kal... Gue salting nih.”

Tawa Kale keluar begitu saja saat melihat muka Nathan yang ikut memerah seperti warna rambutnya.

“Eum... Sekarang lo udah wisuda, jadi kontrak diantara kita selesai kan ya?” tanya Kale dengan hati-hati.

Nathan mengangguk. “Tapi... Gue boleh gak jadi temen lo, Kal?”

Kale tidak langsung menjawab, matanya menatap lurus menyelami mata laki-laki yang saat ini menanti jawabannya.

Seutas senyum muncul di bibir tipis Kale. “Boleh lah, kenapa enggak?”

Nathan ikut tersenyum mendengar jawaban Kale, dirinya berusaha yakin bahwa perempuan yang di hadapannya ini tidak kabur lagi dan tidak akan ada lagi permainan mengejar dan kabur seperti anak kecil.

“Sini, Than,” Kale membentangkan kedua tangannya. “I wanna give you one last hug.”

Nathan malah melangkahkan kakinya mundur. “Jangan sekarang, Kal.”

Kale menautkan sepasang alisnya keheranan. “Kenapa? Biasanya lo paling semangat kalo mau gue peluk deh.”

“Gue mau lanjut S2 di Jerman, Kal. Lo peluk gue-nya besok lusa aja di bandara, pas gue berangkat.”

“Tapi gue kesini ga buat kasih lo harapan, Than.”

“Iya gue tau, tapi gue pengen lo jadi alasan gue pulang ke Indonesia tiap libur semester,” ucap Nathan dengan tersenyum memperlihatkan sepasang lesung di pipi kanan dan kirinya.

Walau semesta selalu punya caranya sendiri untuk menjalankan garis takdir yang telah digariskan, tapi sebagai manusianya kita juga boleh berharap kan?


Kale mulai mendudukkan dirinya tepat di sebelah Nathan. Keduanya hanya memilih duduk bersebelahan di teras rumah dengan memandangi jajaran pot tanaman hias milik Bunda.

“Lo kenapa sih suka banget main ke rumah gue?”

“Rumah lo rame, Kal. Ga kayak rumah gue sepi,” jawab Nathan setelah ada hening di beberapa detik.

Kale mengalihkan tatapan dinginnya memperhatikan Nathan. “Rumah lo sepi?”

“Iya, karena ga ada lo di sana.”

“Males ah, modus teros,” Kale memutar bola matanya.

Nathan hanya terkekeh pelan mendengarkan omelan Kale, ia malah membawa tangannya ke puncak kepala perempuan di sampingnya, dan mengacak pelan rambutnya. “Ini serius, bukan modus, Kal.”

“Nathan ih, jangan acak-acak rambut gue!”

“Emang napa? gaboleh?”

“Iya. Ga boleh.”

“Curang banget padahal lo sering buat gue acak-acakan, kenapa gue gaboleh buat lo acak-acakan?”

“Dih. Orang gue biasa aja, lo nya udah acak-acakan sendiri.” Kale tertawa lepas setelah berhasil mengejek Nathan.

Mampu tertawa karena hal-hal sederhana membuat Kale tersadar sudah sejauh ini dirinya merasa nyaman di sekitar Nathan. Mungkin perkataan Aya dan Dani tempo hari ada benarnya, bahwa ia harus membiarkan dirinya sendiri merasakan bahagia.

Tak lama kemudian Kale mulai meluruskan punggungnya, terlihat begitu bersemangat saat rintik hujan mulai ditangkap oleh netranya.

“Hujan!” Pekik Kale tiba-tiba.

Nathan hanya tersenyum melihat betapa semangatnya perempuan itu melihat hujan.

“Lo suka hujan?”

“Iya, suka banget.” Kale mengangguk dengan cepat mengiyakan pertanyaan Nathan.

“Kenapa?”

“Gatau juga sih kenapa, tapi suara dan suasananya nenangin aja gitu. Bikin seneng aja bawaannya.”

“Terus kenapa pas teufest lo ngajak gue neduh?”

“Yakali kita mau pulang teufest basah kuyup, Than. Itu pulang dari festival musik apa waterpark,” jelas Kale dengan diimbuhi tawa.

Dan sejenak keduanya menjadi hening, keduanya menjadi fokus mendengarkan suara rintik hujan yang jatuh ke bumi, serta menikmati suasana tenang yang hadir bersamanya.

“Kal, mau hujan-hujanan gak?” Entah mendapatkan ide darimana, pertanyaan konyol itu tiba-tiba keluar dari mulut Nathan.

“Hah?”

“Ayo!”

Tak menunggu Kale menyetujuinya, Nathan sudah melangkah ke depan teras dan membiarkan dirinya dirangkul oleh tetesan-tetesan air hujan. Ia juga berlarian kesana kemari mengitari teras, bahkan tangannya pun melambai-lambai meminta Kale untuk segera ikut dengannya.

Kale dibuat tersenyum melihat ekspresi Nathan yang nampak begitu menggemaskan. Laki-laki itu benar-benar seperti anak kecil yang diizinkan ibunya bermain hujan.

Menyadari Kale yang masih diam, dengan segera Nathan berjalan ke arahnya, “Heh ayo! Kok malah diem aja?”

“Than, lo beneran udah 22 tahun ya?” jawab Kale dengan terkekeh.

Nathan malah meraih pelan tangan Kale, membawa perempuan ini bergabung dengan dirinya yang di tengah-tengah hujan. “Coba deh lihat ke atas.”

Kale mulai menengadahkan kepalanya, berusaha melawan rintik hujan yang menghujam wajahnya. Namun, dirinya malah dibuat kebingungan, karena yang maniknya tangkap hanyalah kumpulan awan kelabu di atas sana.

“Langitnya biasa aja kan?” Nathan tersenyum melihat perempuan yang kini berdiri di hadapannya. “Soalnya kalah cantik sama lo, Kal.”

Sorot mata Kale langsung terarah pada laki-laki yang baru saja menggodanya, perlahan sebuah senyum mengembang di bibir tipisnya.

Nathan kemudian mengajak Kale menari-nari dibawah terpaan ribuan rintik hujan, senyum perempuan itu sedikit pun tak memudar. Hujan sore ini terasa begitu menyenangkan, bahkan genggaman tangan keduanya juga semakin erat.   Sedari tadi pandangan Nathan tak dapat beralih dari Kale, ia sangat betah memandang perempuan satu ini dari segala sisi, bahkan dirinya pun tidak peduli kalau setelah ini pipinya akan sakit karena terus tersenyum.

“Kalo lo mau peluk gue, peluk aja gapapa,” dengan nada bercanda Nathan membentangkan tangannya berusaha menggoda Kale yang kini berdiri di depannya.

Tanpa perlu kata, candaan Nathan langsung diiyakan. Kale dengan segera menenggelamkan badannya yang kecil di dalam dekapan Nathan.

Sebenarnya berada sangat dekat dengan tubuh Nathan membuat Kale merasa begitu aneh, karena ini pertama kalinya ia bersikap seperti ini dengan seorang laki-laki.

“Gini bentar ya, Than,” gumam Kale pelan.

Nathan sempat mematung sejenak, kaget dengan Kale yang menanggapi candaannya kali ini dengan serius.

Entah kenapa menurut Nathan susana menjadi berbeda dibanding tadi. Atau mungkin benar kata Gema, dirinya telah terkena sihir Kale sehingga segala tentang perempuan itu selalu bisa membuatnya tenang. 

“Kal?” deham Nathan pelan.

“Hm.”

Nathan menundukkan kepalanya perlahan, menatap lekat-lekat manik perempuan yang saat ini berada dalam dekapannya.

Kale menatap lurus ke mata Nathan dengan mengerutkan dahinya bingung. Menurutnya ekspresi laki-laki ini begitu sulit dipahami.

Belum sempat Kale memprotes Nathan yang dirasa begitu aneh, laki-laki ini sudah terlebih dahulu menghapus jarak di antara keduanya.

Nathan menarik kedua pipi Kale secara lembut, dengan memejamkan kedua bola mata, secara perlahan mempertemukan bibirnya dengan bibir merah perempuan itu.

Ini pertama kalinya Kale paham mengenai ribuan kupu-kupu yang berterbangan di dalam perut, mengerti arti sebenarnya dari sensasi rasa menggelitik menyenangkan yang orang-orang bilang. Dan Ia hanya bisa menutup matanya, membiarkan Nathan mengangkat dagunya.

Sejujurnya Kale juga bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi, dirinya pun semakin dibuat bingung ketika berusaha memahami. Namun, ia tetap membalas dan membiarkan tangannya melingkar di leher Nathan.

Kale menikmati tiap-tiap lumatan yang diberikan Nathan. Ciuman mereka pun begitu pelan dan sama sekali terasa tidak menuntut.

Tapi tiba-tiba Kale melepas tautan di antara mereka, seakan tersadar akan sesuatu. Keduanya kembali terdiam seraya mendengarkan deru napas satu sama lain yang lumayan terbungkam oleh suara air.

“Should we start something, Kal?” bisik pelan Nathan.

Kale sebenarnya sadar jika dirinya merasa bahagia saat bersama Nathan. Tetapi logikanya berkata lain, tak seharusnya ia membuang-buang waktu dengan bermain-main dengan cinta.

“Enggak,” jawab Kale dingin dengan mendorong tubuh Nathan menjauh. “Gue udah pernah bilang kan? Jangan berharap banyak sama gue, Than.”

“Berharap banyak gimana? Kan lo suka gue, gue suka lo.”

“Gue ga suka sama lo.”

“Kemaren lo bilang suka gue, Kal.”

“Waktu itu biar lo cepetan diem.” Kale membuah jauh-jauh pandangannya.

Nathan dibuat begitu bingung oleh perkataan Kale tadi. Dirinya mulai mengusap wajahnya kasar dan menarik rambutnya kebelakang. Ia merasa frustasi.

“Gue ga paham sama lo, Kal... Lo bener-bener beda dari perempuan lain.”

“Iya gue emang beda, gue satu-satunya perempuan yang berani nolak lo, kan?” ucap Kale dengan melangkah mundur, kembali menarik garis jarak di antara mereka. “Just give up on me, Than. Ga ada yang bisa lo dapetin dari gue. Mending lo pulang sebelum hujannya makin deres.”

“Kenapa sih lo selalu lari tiap kali gue kejar?”

“Gue ga lari, dari awal gue udah bilang jangan ber—”

“Kalo gue ga boleh berharap banyak sama lo, kenapa selama ini lo kasih gue harapan?!” Nathan yang geram merasa dipermainkan tanpa sadar membentak perempuan itu.

Lagi, hujan yang turun ke bumi kembali menjadi saksi bisu atas penolakan Kale pada perasaan Nathan.

Mungkin sebenarnya semesta mempertemukan keduanya hanya untuk saling berbagi tawa, tidak untuk menjadi teman hidup hingga akhir masa.