Terakhir tapi Bukan yang Terakhir


Setelah serangkaian acara wisuda selesai, Nathan bersama mahasiswa lainnya segera keluar meninggalkan gedung auditorium tempat acara itu diadakan.

Melihat mahasiswa lain dihampiri oleh orang-orang terdekat mereka, membuat Nathan mengharapkan hal yang menurutnya tidak akan terjadi. Berharap Kale hadir dan menghampirinya di acara wisuda ini.

Dia ga mungkin di sini, ucap pelan Nathan menertawai harapannya.

Nathan memilih meninggalkan emperan gedung yang ramai. Dan langkah beratnya membawa dirinya berjalan pelan menuju parkiran.

“Nathan!”

Suara khas dari perempuan yang Nathan harapkan datang secara sopan masuk ke telinganya. Sempat membuat dirinya menghentikan langkah, tapi ia memilih mengabaikannya. Mungkin salah dengar, pikirnya.

“Jonathan Sky!”

Kali ini suara itu menyebut nama lengkapnya, tapi Nathan masih mengira itu hanyalah halusinasi dan memilih untuk tetap menghiraukannya.

Namun, tiba-tiba pergelangan tangan Nathan di raih oleh seseorang dari balik punggungnya, membuatnya membalikkan badannya dengan cepat.

“Sombong banget sih lo, dipanggil-panggil kagak nyahut.”

Kale dengan tatapan dinginnya muncul di hadapan Nathan, membuat laki-laki ini seketika menahan napasnya.

Tapi Kale terasa begitu asing di mata Nathan, penampilan perempuan ini tidak seperti saat terakhir bertemu. Pipinya menjadi begitu tirus, sorot matanya yang terkesan lelah, dan bibirnya juga sepucat perak.

“Kal? Ini lo beneran?”

“Lo habis dari mana?”

“Kok lo pucet banget? Lo sakit?”

Semua pertanyaan Nathan dihiraukan begitu saja oleh Kale, perempuan ini malah menyerahkan buket bunga yang sedari tadi berada di genggamannya.

“Happy graduation, Than,” ucap Kale dengan bibir yang dihiasi senyuman.

Nathan tersenyum memperlihatkan sepasang lesung pipinya dan menerima buket bunga itu perlahan. “Thank—”

Belum sempat laki-laki ini menyelesaikan ucapannya, Kale sudah membawa tangannya ke kepala Nathan dan mengacak rambut merahnya pelan. “Bentar, kok rambut lo jadi merah?”

Nathan terkekeh pelan. “Ini gara-gara gue galau pas lo suruh gue jauhin lo anjir, terus gatau tiba-tiba pengen aja warnain rambut.”

“Ngapain harus warnain rambut coba? Kayak gaada yang lain aja.”

“Soalnya orang-orang kalo patah hati pada potong rambut, Kal. Gue pengen beda aja jadi warnain rambut gitu.”

“Astaga Nathan...” Kale ikut terkekeh pelan.

“Kenapa? Jelek ya?”

“Not gonna lie, but red suit you, Than.” Kale menggeleng. “Jadi tambah cakep.”

“Kal... Gue salting nih.”

Tawa Kale keluar begitu saja saat melihat muka Nathan yang ikut memerah seperti warna rambutnya.

“Eum... Sekarang lo udah wisuda, jadi kontrak diantara kita selesai kan ya?” tanya Kale dengan hati-hati.

Nathan mengangguk. “Tapi... Gue boleh gak jadi temen lo, Kal?”

Kale tidak langsung menjawab, matanya menatap lurus menyelami mata laki-laki yang saat ini menanti jawabannya.

Seutas senyum muncul di bibir tipis Kale. “Boleh lah, kenapa enggak?”

Nathan ikut tersenyum mendengar jawaban Kale, dirinya berusaha yakin bahwa perempuan yang di hadapannya ini tidak kabur lagi dan tidak akan ada lagi permainan mengejar dan kabur seperti anak kecil.

“Sini, Than,” Kale membentangkan kedua tangannya. “I wanna give you one last hug.”

Nathan malah melangkahkan kakinya mundur. “Jangan sekarang, Kal.”

Kale menautkan sepasang alisnya keheranan. “Kenapa? Biasanya lo paling semangat kalo mau gue peluk deh.”

“Gue mau lanjut S2 di Jerman, Kal. Lo peluk gue-nya besok lusa aja di bandara, pas gue berangkat.”

“Tapi gue kesini ga buat kasih lo harapan, Than.”

“Iya gue tau, tapi gue pengen lo jadi alasan gue pulang ke Indonesia tiap libur semester,” ucap Nathan dengan tersenyum memperlihatkan sepasang lesung di pipi kanan dan kirinya.

Walau semesta selalu punya caranya sendiri untuk menjalankan garis takdir yang telah digariskan, tapi sebagai manusianya kita juga boleh berharap kan?