Perihal Langit dan Bumi


Dengan langkah lebar dan sedikit berlari Nathan menuju kamar tempat Kale dirawat. Kekhawatiran tergambar jelas di raut wajahnya, bahkan mungkin semua orang yang memandangnya pasti tahu kalau laki-laki ini sedang dirundung kegelisahan yang luar biasa.

Nathan berhenti tepat setelah membuka pintu Ruang Cempaka Nomor 87. Hatinya terasa begitu sesak saat memperhatikan perempuan yang kemarin malam memanggilnya sayang kini sedang terduduk lemah di atas ranjang rumah sakit.

Ketika matanya beralih ke arah Bang Samy, Dani, Aya, Biyu, dan kedua orang tua Kale, kekecewaan pun ikut hadir di dalam diri Nathan. Ia merasa menjadi orang bodoh yang terakhir mengetahui tentang ini semua.

“Nathan?” seru Kale dengan memasang wajah bertanya-tanya bagaimana bisa laki-laki ini datang kesini.

“Hai, Kal!” jawab Nathan yang bejalan pelan ke arah Kale dengan memaksakan diri untuk tetap tersenyum.

Melihat keduanya membuat orang-orang yang ada di sana mengerti dengan keadaan, mereka memilih menarik diri keluar demi memberikan ruang untuk keduanya dapat berbicara.

Nathan mendudukan dirinya di kursi yang berada tepat di samping ranjang Kale. Tapi, ia malah mengalihkan pandangannya ke arah jendela di depannya, memandangi hujan yang kembali turun di bulan Februari.

“Lo kesini lari ya? Sampe keringetan gitu.” Kale membawa tangan kanannya mengusap tisu di kening Nathan. “Sorry gue ga menuhin janji nganterin lo ke bandara, Than.”

Sekuat apapun Nathan berusaha mengalihkan pandangannya, pada akhirnya matanya tetap kembali menatap lekat manik perempuan di hadapannya ini. Kembali mencari-cari tatapan dingin yang sering menatapnya, tapi tetap saja tatapan itu kini telah menjadi tatapan yang begitu sendu.

Pakaian lengan pendek khas rumah sakit, infus yang menancap di punggung tangan kiri, dan kabel-kabel yang menempel pada badan Kale membuat hati Nathan terasa sesak kembali.

“Lo kok kurus banget sih, Kal...” perlahan Nathan mulai membuka kata. “Apa selama ga ketemu gue lo ga makan? Segalau itu ya lo jauh dari gue? Padahal kan gue jauh di mata tapi dekat di hati lo.”

“Dih, pede banget. Yang jauh di mata tapi dekat di hati gue itu lambung bukan lo,” balas Kale dengan nada yang biasanya ia gunakan.

Nathan menyimpulkan senyum. Masih bisa mendengar suara Kale dengan nada khasnya membuat Nathan merasa begitu lega, walau dengan keadaan yang tidak pernah ia bayangkan.

“Gue bodoh ya, Kal.”

“Hah?”

“Gue dengan bodohnya ngira Samuel itu gebetan lo, padahal dia dokter lo, bahkan gue ga pernah kepikiran kalo itu abang gue sendiri. Dan waktu lo bilang lagi healing juga, malah gue kira lo lagi liburan.”

“Gue juga terlalu bodoh sampai ga paham kalo lo suruh gue menjauh bukan karena lo ga suka sama gue, tapi lo lagi melindungi gue dan perasaan gue. Lo ga mau gue sedih kan, Kal? Lo ga mau gue tau keadaan lo, jadi lo sembunyiin ini semua kan?” lanjut Nathan dengan suara bergetar menahan air mata yang mulai mendobrak keluar.

“Hey, lo kok jadi lebih banyak omong gini sih? Kayaknya pas terakhir ketemu ga secerewet ini deh.” Kale malah menggodanya, membuat laki-laki ini menundukkan kepalanya.

Kale juga tertawa pelan saat melihat Nathan mengelap air matanya yang mulai keluar, selanjutnya ia membawa lagi tangan kanannya mengusap puncak kepala Nathan. “Jangan nangis gini, Than. Lo jadi kayak anak kecil kalo lagi nangis tau.”

“Lo kenapa sih jadi suka godain gue gini, Kal?”

“Hahaha, kan temen tapi sayang gue yang ngajarin.” Kale kini mengacak-acak rambut merah Nathan.

“Diem.”

Benar, kemudian mereka menjadi terdiam. Nathan masih tertunduk dan Kale yang sedari tadi masih betah memainkan rambut merahnya, keduanya pun kembali sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Nathan?” tegur Kale pelan.

“Hm?”

“Maafin gue ya yang sembunyiin ini semua dari lo... Gue sebenernya bahagia bisa hidup seperti kemarin-kemarin yang bareng lo. Gue juga suka bisa nyobain hal-hal baru sama lo. Bahkan gue juga bersyukur bisa kenal lo di penghujung hidup gue.”

“Jangan bilang gitu, Kal. Lo pasti masih bisa bertahan lebih lama lagi.”

Kale menggelengkan kepalanya. “Enggak, Than. Gue udah capek dipasangin alat-alat, gue udah capek disuntik lebih dari lima kali sehari, rasanya sakit banget Than...”

“Kal...”

“Gue gamau lama-lama lagi di rumah sakit lagi, Than. Gue udah capek rebahan terus, punggung gue sakit.”

Nathan segera membawa Kale kedalam pelukannya, ia memilih untuk membuat perempuan ini nyaman, dan berharap suatu hal buruk tidak akan terjadi sekarang.

“Lo harus bahagia terus ya, Than. Jangan sedih-sedih lagi kayak gini, gue ga suka dan sedih juga ga cocok buat lo,” bisik Kale dari dalam dekapan Nathan.

“Lah gue kan juga manusia, masa ga boleh sedih? Curang dong kalo gitu.” Nathan tetap menjawabnya dengan cara sendiri.

Kale sempat tersenyum sesaat. “Dari awal memang gue udah minta buat jangan berharap banyak sama gue, karena gue pun ga pernah bisa berharap banyak sama diri gue sendiri. Maafin gue ya, Than.”

“Kal, jangan kayak gini...”

“Oh iya, kemarin gue udah janji kalo ketemu bakal bilang sesuatu. I love you too, Nathan...”

Hingga tidak ada satu patah kata lagi yang keluar dalam beberapa detik setelahnya. Raga yang berada di dekapan Nathan tiba-tiba melemah, alat monitor oksigen dalam darah pun berbunyi. Ketika Nathan menolehkan kepalanya, ia menemukan Kale sudah memejamkan matanya.

“Kal...”

“Kale?”

“Kaleya!”

Semua panggilannya tidak mendapatkan jawaban, Nathan pun segera berteriak memanggil dokter, “Bang Samy!”

Dan pada saat itu juga langsung diadakan tindakan darurat oleh para tenaga medis di ruangan itu. Tapi pada pukul 15.05, Kaleya Bentala dinyatakan meninggal dunia.

Sepertinya benar kata anak indi, perihal langit dan bumi tak akan pernah menjadi amorfati, karena mereka begitu aksa dan akan selamanya menjadi enigma semesta.