Raindrops


Kale mulai mendudukkan dirinya tepat di sebelah Nathan. Keduanya hanya memilih duduk bersebelahan di teras rumah dengan memandangi jajaran pot tanaman hias milik Bunda.

“Lo kenapa sih suka banget main ke rumah gue?”

“Rumah lo rame, Kal. Ga kayak rumah gue sepi,” jawab Nathan setelah ada hening di beberapa detik.

Kale mengalihkan tatapan dinginnya memperhatikan Nathan. “Rumah lo sepi?”

“Iya, karena ga ada lo di sana.”

“Males ah, modus teros,” Kale memutar bola matanya.

Nathan hanya terkekeh pelan mendengarkan omelan Kale, ia malah membawa tangannya ke puncak kepala perempuan di sampingnya, dan mengacak pelan rambutnya. “Ini serius, bukan modus, Kal.”

“Nathan ih, jangan acak-acak rambut gue!”

“Emang napa? gaboleh?”

“Iya. Ga boleh.”

“Curang banget padahal lo sering buat gue acak-acakan, kenapa gue gaboleh buat lo acak-acakan?”

“Dih. Orang gue biasa aja, lo nya udah acak-acakan sendiri.” Kale tertawa lepas setelah berhasil mengejek Nathan.

Mampu tertawa karena hal-hal sederhana membuat Kale tersadar sudah sejauh ini dirinya merasa nyaman di sekitar Nathan. Mungkin perkataan Aya dan Dani tempo hari ada benarnya, bahwa ia harus membiarkan dirinya sendiri merasakan bahagia.

Tak lama kemudian Kale mulai meluruskan punggungnya, terlihat begitu bersemangat saat rintik hujan mulai ditangkap oleh netranya.

“Hujan!” Pekik Kale tiba-tiba.

Nathan hanya tersenyum melihat betapa semangatnya perempuan itu melihat hujan.

“Lo suka hujan?”

“Iya, suka banget.” Kale mengangguk dengan cepat mengiyakan pertanyaan Nathan.

“Kenapa?”

“Gatau juga sih kenapa, tapi suara dan suasananya nenangin aja gitu. Bikin seneng aja bawaannya.”

“Terus kenapa pas teufest lo ngajak gue neduh?”

“Yakali kita mau pulang teufest basah kuyup, Than. Itu pulang dari festival musik apa waterpark,” jelas Kale dengan diimbuhi tawa.

Dan sejenak keduanya menjadi hening, keduanya menjadi fokus mendengarkan suara rintik hujan yang jatuh ke bumi, serta menikmati suasana tenang yang hadir bersamanya.

“Kal, mau hujan-hujanan gak?” Entah mendapatkan ide darimana, pertanyaan konyol itu tiba-tiba keluar dari mulut Nathan.

“Hah?”

“Ayo!”

Tak menunggu Kale menyetujuinya, Nathan sudah melangkah ke depan teras dan membiarkan dirinya dirangkul oleh tetesan-tetesan air hujan. Ia juga berlarian kesana kemari mengitari teras, bahkan tangannya pun melambai-lambai meminta Kale untuk segera ikut dengannya.

Kale dibuat tersenyum melihat ekspresi Nathan yang nampak begitu menggemaskan. Laki-laki itu benar-benar seperti anak kecil yang diizinkan ibunya bermain hujan.

Menyadari Kale yang masih diam, dengan segera Nathan berjalan ke arahnya, “Heh ayo! Kok malah diem aja?”

“Than, lo beneran udah 22 tahun ya?” jawab Kale dengan terkekeh.

Nathan malah meraih pelan tangan Kale, membawa perempuan ini bergabung dengan dirinya yang di tengah-tengah hujan. “Coba deh lihat ke atas.”

Kale mulai menengadahkan kepalanya, berusaha melawan rintik hujan yang menghujam wajahnya. Namun, dirinya malah dibuat kebingungan, karena yang maniknya tangkap hanyalah kumpulan awan kelabu di atas sana.

“Langitnya biasa aja kan?” Nathan tersenyum melihat perempuan yang kini berdiri di hadapannya. “Soalnya kalah cantik sama lo, Kal.”

Sorot mata Kale langsung terarah pada laki-laki yang baru saja menggodanya, perlahan sebuah senyum mengembang di bibir tipisnya.

Nathan kemudian mengajak Kale menari-nari dibawah terpaan ribuan rintik hujan, senyum perempuan itu sedikit pun tak memudar. Hujan sore ini terasa begitu menyenangkan, bahkan genggaman tangan keduanya juga semakin erat.   Sedari tadi pandangan Nathan tak dapat beralih dari Kale, ia sangat betah memandang perempuan satu ini dari segala sisi, bahkan dirinya pun tidak peduli kalau setelah ini pipinya akan sakit karena terus tersenyum.

“Kalo lo mau peluk gue, peluk aja gapapa,” dengan nada bercanda Nathan membentangkan tangannya berusaha menggoda Kale yang kini berdiri di depannya.

Tanpa perlu kata, candaan Nathan langsung diiyakan. Kale dengan segera menenggelamkan badannya yang kecil di dalam dekapan Nathan.

Sebenarnya berada sangat dekat dengan tubuh Nathan membuat Kale merasa begitu aneh, karena ini pertama kalinya ia bersikap seperti ini dengan seorang laki-laki.

“Gini bentar ya, Than,” gumam Kale pelan.

Nathan sempat mematung sejenak, kaget dengan Kale yang menanggapi candaannya kali ini dengan serius.

Entah kenapa menurut Nathan susana menjadi berbeda dibanding tadi. Atau mungkin benar kata Gema, dirinya telah terkena sihir Kale sehingga segala tentang perempuan itu selalu bisa membuatnya tenang. 

“Kal?” deham Nathan pelan.

“Hm.”

Nathan menundukkan kepalanya perlahan, menatap lekat-lekat manik perempuan yang saat ini berada dalam dekapannya.

Kale menatap lurus ke mata Nathan dengan mengerutkan dahinya bingung. Menurutnya ekspresi laki-laki ini begitu sulit dipahami.

Belum sempat Kale memprotes Nathan yang dirasa begitu aneh, laki-laki ini sudah terlebih dahulu menghapus jarak di antara keduanya.

Nathan menarik kedua pipi Kale secara lembut, dengan memejamkan kedua bola mata, secara perlahan mempertemukan bibirnya dengan bibir merah perempuan itu.

Ini pertama kalinya Kale paham mengenai ribuan kupu-kupu yang berterbangan di dalam perut, mengerti arti sebenarnya dari sensasi rasa menggelitik menyenangkan yang orang-orang bilang. Dan Ia hanya bisa menutup matanya, membiarkan Nathan mengangkat dagunya.

Sejujurnya Kale juga bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi, dirinya pun semakin dibuat bingung ketika berusaha memahami. Namun, ia tetap membalas dan membiarkan tangannya melingkar di leher Nathan.

Kale menikmati tiap-tiap lumatan yang diberikan Nathan. Ciuman mereka pun begitu pelan dan sama sekali terasa tidak menuntut.

Tapi tiba-tiba Kale melepas tautan di antara mereka, seakan tersadar akan sesuatu. Keduanya kembali terdiam seraya mendengarkan deru napas satu sama lain yang lumayan terbungkam oleh suara air.

“Should we start something, Kal?” bisik pelan Nathan.

Kale sebenarnya sadar jika dirinya merasa bahagia saat bersama Nathan. Tetapi logikanya berkata lain, tak seharusnya ia membuang-buang waktu dengan bermain-main dengan cinta.

“Enggak,” jawab Kale dingin dengan mendorong tubuh Nathan menjauh. “Gue udah pernah bilang kan? Jangan berharap banyak sama gue, Than.”

“Berharap banyak gimana? Kan lo suka gue, gue suka lo.”

“Gue ga suka sama lo.”

“Kemaren lo bilang suka gue, Kal.”

“Waktu itu biar lo cepetan diem.” Kale membuah jauh-jauh pandangannya.

Nathan dibuat begitu bingung oleh perkataan Kale tadi. Dirinya mulai mengusap wajahnya kasar dan menarik rambutnya kebelakang. Ia merasa frustasi.

“Gue ga paham sama lo, Kal... Lo bener-bener beda dari perempuan lain.”

“Iya gue emang beda, gue satu-satunya perempuan yang berani nolak lo, kan?” ucap Kale dengan melangkah mundur, kembali menarik garis jarak di antara mereka. “Just give up on me, Than. Ga ada yang bisa lo dapetin dari gue. Mending lo pulang sebelum hujannya makin deres.”

“Kenapa sih lo selalu lari tiap kali gue kejar?”

“Gue ga lari, dari awal gue udah bilang jangan ber—”

“Kalo gue ga boleh berharap banyak sama lo, kenapa selama ini lo kasih gue harapan?!” Nathan yang geram merasa dipermainkan tanpa sadar membentak perempuan itu.

Lagi, hujan yang turun ke bumi kembali menjadi saksi bisu atas penolakan Kale pada perasaan Nathan.

Mungkin sebenarnya semesta mempertemukan keduanya hanya untuk saling berbagi tawa, tidak untuk menjadi teman hidup hingga akhir masa.