Afternoon Ride
“Mobil lo kemana, Wen? Kok tumben gak lo bawa?”
Jeya tampak menaikan kaca helmnya dan menoleh ke samping untuk mengajak Wendy berbicara. Ia tiba-tiba merasa penasaran dengan alasan perempuan itu meminta tumpangan untuk pulang sore ini.
Namun, sepertinya perempuan yang duduk di jok motor belakangnya itu tidak dapat mendengar suara Jeya dengan jelas. Wendy hanya diam dan tidak menyahut sedikitpun sampai beberapa menit berlalu.
“Wen?!” panggil Jeya lagi dengan meninggikan nadanya.
“Hah?Apa?”
“Lo tumben ga bawa mobil?”
“Kenapa? Lo ga ikhlas ya ngenterin gue pulang?” ketus Wendy.
“Gak gitu, tapi ... dahlah.” Jeya menghela napasnya panjang.
Mengetahui laki-laki yang sedang menyetir dihadapannya kesal, tawa Wendy malah keluar begitu saja.
“Hahahaha bercanda, Jey.” Wendy menepuk-nepuk punggung Jeya. “Mobil gue lagi di servis rutinan, biasa lah udah jadwalnya ntar kalo telat diomelin Oma.”
“Ohh.”
Ketika melewati jalanan yang sudah lumayan senyap dari hingar bingar kendaraan lain, Jeya terlihat memelankan laju motor yang dikendarainya. Sebenarnya mereka sudah dekat menuju apartemen Kale, tapi entah mengapa laki-laki itu malah melajukan pelan motornya.
“Wen?” deham pelan Jeya.
“Hah? Apalagi?”
Jeya semakin melajukan motornya pelan, berusaha membuat perempuan yang saat ini duduk di belakangnya dapat mendengar ucapannya dengan jelas.
“Gue mau ngomong.”
“Harus banget ya lo ngomongnya di jalan gini?”
“Iya, soalnya ini penting,” ucap Jeya yang membuat Wendy mengerutkan dahinya.
Di bawah langit sore ditemani suara knalpot motor dan klakson kendaraan lain yang saling bersahutan, Jeya berusaha mengikuti kata hatinya untuk mengatakan apa yang selama ini ia pendam.
“Anu... gue...” Jeya menggaruk lehernya yang aslinya tidak gatal. “Sebenernya udah suka sama lo dari kita masih maba dulu, Wen.”
Namun, laki-laki itu tidak berharap sedikitpun dengan jawabannya. Terserah kalimatnya barusan akan ditanggapi atau dilupakan, yang pasti dirinya merasa lega telah mengatakannya.
Wendy yang mendapatkan pengakuan dari teman dekatnya sendiri pun hanya bisa diam sampai beberapa saat. Ia benar-benar bingung harus menanggapi seperti apa agar tidak menyakiti hati Jeya.
“Iya, gue tau lo sukanya sama adek gue kan? Jupiter.” Jeya mengulum senyum, meskipun sebenarnya lawan bicaranya tidak bisa melihat itu. “Gue ga minta lo jadi pacar gue kok, gue juga ga nuntut lo buat suka balik, gue cuma mau lo tau aja.”
Wendy masih terdiam sampai beberapa detik. “Kenapa lo baru bilang sekarang sih, Jey?”
“Gue baru berani sekarang, Wen.” Jeya terkekeh, menertawai betapa cupunya dirinya. “Kalo lo nyaman sama Jupiter, go ahead, Wen. Adek gue emang anaknya kekanakan banget tapi dia anak yang baik kok.”
“Sorry, Jey—”
“Enggak, jangan minta maaf.”
“Tapi—”
“Wen, hujan!” pekik Jeya melihat rintik hujan mulai turun.
Sontak laki-laki itu segera memacu cepat motornya menuju apartemen Wendy sebelum hujan turun dengan sangat deras.
“Pegangan, Wen!”
Jeya menarik tangan perempuan itu dan melingkarkannya di pinggangnya. Wendy juga hanya bisa pasrah, karena Jeya melajukan motornya dengan begitu cepat.
Maafin gue yang terlalu ga peka ini, Jey, gumam Wendy sangat pelan dengan memeluk badan laki-laki itu dari belakang.
Mungkin jika Jeya mengatakannya jauh sebelum perempuan itu mengenal Jupiter, bisa saja jawaban Wendy akan berbeda.